Minggu, 11 Juni 2017

Makalah Hukum Administrasi Negara tentang PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Berkaitan dengan Kekuasaan Yudikatif (kehakiman), dalam Pasal 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004,  ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman  dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya   dalam   lingkungan   peradilan   umum,   lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat   dalam   hukum   dan   menjamin   terpeliharanya   hubungan   yang   serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti   bahwa Indonesia   adalah   negara   hukum   yang   menjunjung   tinggi   nilai-nilai   keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986. Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah Departemen Kehakiman sebagai pembina.

B.  Rumusan Masalah
Pemakalah akan menguraikan mengenai kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara dan Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara. Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara?     
2. Apa tujuan di dirikannya Peradilan Tata Usaha Negara?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Peradailan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo, yaitu adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat yg mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota.[1] Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksanaa kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk meriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara.[2]
Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara dalam arti luas dan sempit:
1.      Dalam arti luas 
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi Negara, baik yang bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan perkara administrasi Negara.
2.      Dalam arti sempit
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-mata.[3]

B.  Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram dan tertib. Berkaitan dengan Peardilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara antara Pemerintah dari warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberi perlidungan kepada rakyat.        
       Tetapi disamping itu haris pila disadari bahwa disamping hak-hak individu, masyarakat juga mempunyai hak-hak tertentu. Hak masyarakat ini didasarkan kepada kepentingan bersama dari para individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. Kepentingan tersebut tidak selamanya sejalan, bahkan kadang-kadang saling berbenturan. Justru untuk menjamin penyelesaian yang adil terhadap pembentukan kepentingan yang berbeda-beda itu, maka saluran hukum merupakan salah satu jalan yang terbaik dan sesuai dengan prinsip yang  terkandung dalam falsafah negara kita, Pancasila, maka hak dan kewajiban asasi warga negara harus diletakan dalam keserasian, keselarasan dan kesimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu tujuan Peradilan Tata usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, melainkan juga untuk melindungi hak-hak masyarakat.[4]

C.  Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingakatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.[5] Kompetensi (kewenangan) suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut.[6]
1)   Kompetensi relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
a.    Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1)     Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2)     Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Adapun kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan Tergugat.
b.    Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan keapda PTUN dari tempat kedudukan salah satu tergugat. Gugatan juga dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di laur negri. Sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.[7]

2)   Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).[8]

D.   Subyek Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:
1.      Penggugat
Yaitu pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara antara lain orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN);

2.      Tergugat
Yaitu jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut.

E.  Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[9]

F.   Ciri dan Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara Peradilan tata usaha negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. [10]Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara: 
1.    Asas Praduga rechtmatig. (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2.    Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan. (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3. Asas para pihak harus didengar.
4. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
5. Asas peradilan dilakukan dengan sederahana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/ 1970).
6. Asas hakim aktif.
7. Asas sidang terbuka untuk umum. (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN).
8.  Asas peradilan berjenjang.
9. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
10.Asas Obyektivitas.[11]

G. Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara
Pangkal sengketa tata usaha negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha negara. Tolak ukur sengketa tata usaha negara (administrasi) adalah tolak ukur subjek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subjek adalah (para) pihak yang bersengketa di bidang hukum administrasi negara (tata usaha negara). Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.[12]  .
            Perbuatan administrasi negara (TUN) dapat dikelompokan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni: mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut, badan atau pejabat tata usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang, dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian, bagi yang terkena tindakan tersebut.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang dimaksud sengketa dalam tata usaha Negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat ditelusuri dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU PTUN, yang menyebutkan sebagai berikut:
“Sengeketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata, dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” 

            Pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Beerdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah:  “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” [13]
H.  Jalur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang UU PTUN menyebutkan:
1.    Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2.    Pengadila baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika selutuh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. 

Dengan demikian upaya administatif itu merupakan prosedur yang digunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaiakan sengketa TUN yang dilakssanakan di lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas).yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.[14]
           
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari sekian banyak penjelasan yang kami bahas pada subab-subab sebelumnya kami akan menyimpulkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal. Dengan bersumber dari berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo, yaitu adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat yg mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk meriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara.
Kemudian tujuan didirikannya Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah untuk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dari warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberi perlidungan kepada rakyat, entah itu perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, serta juga untuk melindungi hak-hak masyarakat banyak.

B.  Saran
Saran dari kelompok kami untuk pemerinta adalah, hendaknya agar kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih ditingkatkan lagi. Mengingat saat ini, banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu merugikan masyarakat luas.  Serta dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal administrasi Negara agar lebih jujur dan bersih lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Badruzzaman Siddik. 2002.  Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak Zaman Kolonial Belanda Sampai Sekarang. Lampung: Seksi Penerbitan Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung.

Sudarsono. 1994. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Bejamin mangkoedilaga. 1988. Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Angkasa.

Zairin Harahap. 2008.  Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.








[1] Badruzzaman Siddik,  Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak Zaman Kolonial Belanda Sampai Sekarang, (Lampung: Seksi Penerbitan Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung,2002), hlm. 9.
[2] Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), cet. Ke 1, hlm. 370.
[4] Bejamin mangkoedilaga,  Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung: Angkasa 1988), hlm. 140.
[5] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2008), hlm. 27.
[7] Ibid.
[8] Zairin Harahap, Op. Cit, hlm. 27-32.
[10] Zairin Harahap, Op. Cit, hlm. 23.
[11] Zairin Harahap, ibid, hlm. 24-26.
[12] Sjahran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA), (Jakarta: Rajawali Press, 1989). Dalam buku Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2008), hlm. 61.
[13] Zairin Harahap, ibid, hlm.61-63.
[14] Indoharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, cet ke-6, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996). Dalam buku Zairin Harahap, ibid, hlm. 84.

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...