SISTEM HUKUM DAN
KONDIFIKASI
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Lahirnya suatu sistem hukum yang dipergunakan di suatu
negara tidak lepas dari sejarah
tradisi (hukum) dan budaya (hukum) legal culture
yang di anut pada masyarakat tersebut. Bagi
masyarakat yang menganggap praktik-praktik kebiasaan yang melembaga dan
kemudian menjelma menjadi hukum, maka
sistem hukumnya menjadi tradisi sistem hukum tidak tertulis sebagai bagian spirit of the people suatu bangsa. Sebaliknnya ketika
tradisi dan budaya tata tulis telah menjadi semangat kepastian hukum suatu
bangsa, maka
sistem hukumnya menjelma menjadi sistem hukum tertulis yang di kodifikasikan.[1]
Sebelum
adanya kodifikasi atau hukum nasional yang berlaku, hukum yang di pakai di setiap daerah
adalah
hukum adat. Menurut V.vVollenhoven, di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat
hukum adat, sehingga bagi keseluruhan wilayahnya tidak ada kesatuan dan
kepastian hukum.[2]
Maka demi
untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum, Indonesia memerlukan hukum yang
bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
Sebab dari itu
semua, maka pada makalah ini kami akan membahas tentang sistem hukum dan kodifkasi. Yang di uraikan oleh para ahli dan
melihat sejarah terbentuknya.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sistem Hukum
Dalam memberikan pengertian pada kata “sistem hukum“,
bukanlah perkara yang mudah, dan tanpa alasan. Semua itu harus dipertimbangkan
dan dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu banyak para ahli pun yang mengarartikan sistem hukum ini berbeda-beda
pendapatnya. Tetapi mereka bukan tanpa alasan mengartikan sistem hukum itu
sendiri, melainkan mereka dapat dari hasil berpikir dan pengalaman yang tidak cukup
memakan waktu sebentar.
Berikut penjelasan sistem hukum
menurut para ahli:
Menurut Hans Kelsen, sistem
hukum adalah suatu hierarki dari norma- norma dimana norma-norma bertingkat
lebih tinggi mengatur penciptaan atas norma-norma bertingkat lebih rendah.[3]Dua
hal yang dikemukakan dalam kalimat ini, yaitu: (1) sistem hukum adalah suatu
hierarki dari norma-norma. Ini berkenaan dengan tata urutan pertauran
perundang-undangan dimana peraturan-peraturan tersebut dibagi atas beberapa
tingkat; dan, (2) norma bertingkat lebih tinggi mengatur penciptaan norma
bertingkat lebih rendah. Dalam hal ini, norma bertingkat lebih tinggi memiliki
fungsi pemeberian keuasaan untuk menciptakan norma-norma bertingkat lebih
rendah. Sebagai contoh, norma-norma dalam Peraturan Pemerintah. [4]
Menurut Subekti, sistem hukum merupakan suatu susunan atau tatanan
yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari
suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.[5]
Menurut
Nur Khalif Hazim, A.R. Elham, kata sistem
berarti susunan,[6]
kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Sistem merupakan
satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian atau subsistem. Subsistem ini
saling berkaitan yang tidak boleh bertentangan, dan apabila memang terjadi
pertentangan, maka selalu ada jalan untuk menyelesaikannya.[7]
Menurut
Lili Rasyidi dan I.B. Wiya Saputra,
sitem hukum adalah suatu kesatuan sistem
yang tersusun atas integritas sebagai komponen sistem hukum yang masing-masing memiliki fungsi
tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terikat, bergantung, mempengaruhi,
bergerak dalam kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan
hukum.[8]
Menurut Sukdikno Mortokusumo, menjelaskan bahwa sistem hukum itu
merupakan tatanan, suatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling
berkaitan erat satu sama lain.[9]
Menurut Marwanmas, sistem hukum adalah
susunan sebagai satu kesatuan
yang tersusun dari sejumlah bagian yang dinamakan subsistem hukum, yang secara
bersama-sama mewujudkan
kesatuan yang utuh.[10]
Oleh karena itu, untuk mecapai tujuan hukum dalam suatu
keesatuan, diperlukan kesatuan sinergi antara unsur atau komponen yang
tekandung didalam sistem hukum seperti masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat
hukum pendidikan hukum (ilmu hukum), konsep hukum, pembentukan hukum, penerapan
hukum dan evaluasi hukum.[11]
Unsur-unsur atau komponen sistem hukum di atas dapat
dijelaskan oleh Lili Rasjidi, dan I.B. Wyasa Putra, yaitu sebaga berikut:
1.
Masyarakat hukum,
merupakan himpunan kelompok kesatuan hukum, baik individu ataupun kelompok yang
strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing ( sederhana, negara, atau
masyarkat internasional).
2.
Budaya hukum, merupakan
pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya; dikenal tiga budaya
hukum masyarakat hukum, yaittu budaya hukum tertulis, tidak tertulis dan
kombinatif.
3.
Filsafat hukum,
merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia; dapat
bersifat umum (universal) dapat bersifat khusus ( milik suatu masyarakat hukum
tertentu).
4.
Ilmu penddidan hukum, merupakan media komunikasi antara teori dan praktik hukum; juga merupakan
media pengembangan teori-teori hukum, desain-desain, dan formula-formula hukum
praktis (konsep hukum).
5.
Konsep hukum,
merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang diteatpkan oelh suatu masyarakat;
berisi tentang budaya hukum yang dianutnya (tertulis, tidak tertulis, atau
kombinatif), berisis formulasi nilai hukum (konsepsi filosofis) yang dianutnya;
dan mengenai proses pembentuakan, penetapan, pengembangan dan pembangunan hukum
yang hendak dilaksanakannya.
6.
Pembentukan hukum,
merupakan bagian proses hukum yang meliputi lembaga-aparatur- dan sarana
pembentkan hukum; menurut konsep hukum yang telah ditetapkan; termasuk
prosedur-prosedur yang harus dilaluinya.
7.
Bentuk hukum,
merupakan hasil proses pembentukan hukum; dapat berupa peraturan
perundang-undangan (jika pembentukannya melalui legislatif, atau
lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi legislatif) dapat berupa
keputusan hakim (jika hakim diberi kewenangan untuk itu).
8.
Penerapan hukum,
merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum; meliputi lembaga,
aparatur, saran, dan prosedur penerapan hukum.
9.
Evaluasi hukum,
merupakan proses pengujian kesesuaian antara hukum yang berbentuk dengan konsep
yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengujian kesesuaian antara hasil
penerapan hukum dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam konsep ataupun dalam peraturan perundangan.[12]
Selanjutnya, Menuurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum merupakan
suatu sistem yang meliputi
substansi, struktur, dan budaya hukum.[13] Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga
(pranata sosial), seperti legislatif, ekseutif, dan yudikatif, bagaimana
lembaga itu menjalankan fungsinya.
Struktur juga berarti bagaiman lembaga legislatif
menajalankan fungsinya, berapa anggota yang duduk sebagai anggota, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, bagimana aparat menegakan hukum
(polisi) menjalankan tugasnya dan lainya. (structure
also means how the legislature is organized, how many mebers sit on the federal trade commission, what the
president can (legally) do or not do, what precedures the police departement
folows, and so on).[14]
Adapun menurut Soleman B. Taneko, beliau pernah
menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk dan gaya. Struktur
adalah badan, rangka kerja, dan bentuk yang tetap. Pengadilan atau kepolisian,
merupakan organisasi.[15]
Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku
manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu
sistem (substancy, by this mean the
actual rules, norms, and behavior petterns of people inside the system).
Dengan demikian, susbstansi hukum itu pada hakikatnya
mencangkup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru
ataupun hukum yang baru, hukum materill (hukum substansif), hukum formil (hukum
ajektif) dan hukum adat.
Disamping struktur dan substansi, sistem hukum yang
ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap Masyarakat, kepercayaan masyarakat,
nilai-nilai yang di anut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka
terhadap hukum dan sistem hukum. (the
legal culture, by this we mean people’s attitudes toward law and the legal
system-their beliefs, values, ideas, and epectations).
Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari sikap
dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh
warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.
Jika diibaratkan sebuah mesin, struktur adalah mesinnya,
substansi adalah produk yang dihasilkan oleh mesin, sedangkan budaya hukum
merupakan orang yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut, dan bagimana
menentukan mesin tesebut layak digunakan atau tidak. Perwujudan dari dari
budaya hukum masyarakat adalah adanya kesadaran hukum dengan indikator berupa
adanya pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap
hukum.[16]
Mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut fuller yang
dikutip oleh Sajipto Rahardo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yag
dinamakan principle of legality (prinsip
legalitas) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan
pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu keatuan yang mengandung suatu
moralitas tertentu. Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Harus ada peraturan
terlebih dahulu ; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusaan secara ad hoc, atau tindakan yang
bersifat arbiter.
2.
Peraturan itu harus
diumumkan secara layak.
3.
Peraturan itu tidak
boleh berlaku surut.
4.
Perumusan peraturan
itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5.
Hukum tidak boleh
meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6.
Di antara sesama
peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7.
Peraturan harus
tetap, tidak boleh diubah.
8.
Harus terdapat
kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.[17]
B.
Macam–macam
Sistem Hukum
Berikut akan di uraikan beberapa macam-macam sistem
hukum.
1.
Sistem Hukum Civil Law
Sistem ini di turunkan
dari hukum Romawi Kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan jus
civile Romawi yaitu hukum privat yang di aplikasikan kepada warga negara
dan di antara warga negara sistem hukum ini juga disebut jus guiritium sebagai lawan sistem jus gentium untuk di
aplikasikan secara internasional, yakni
antar negara.[18]
Dalam
perjalanan waktu hukum romawi tersebut kemudian di komplikasikan bahkan
kemudian di kodifikasikan.
Dalam sistem hukum civi law istilah “code” (undang-undang) adalah sekumpulan
klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif, komprehensif dan
sistematis yang dimuat dalam kitab atau bagian yang di susun secara logis dengan hukum
terkait.Oleh sebab itu,peraturan
civil law di anggap sebagai sumber
hukum utama, di
mana semua sumber hukum lainnya menjadi subordinatornya, dan sering kali dalam
masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukkumnya.
Sedangkan dalam sistem hukum common law meskipun di jumpai penggunaan istilah ”code”untuk peraturan hukum, akan tetapi peraturan
hukum itu tidak termuat dalam kitab undang-undang yang komprehensif itu, peraturan itu terkadang
hanya bersifat terbatas baik lingkup penggaturannya maupun wilayah berlakunya.[19]
Untuk memudahkan memahami karakter sistem hukum civi law maka dibawah ini akan di
uraikan beberapa karakternya sebagai berikut:
1.
Adanya kodifikasi hukum
sehingga pengambilan keputusan oleh hakim dan oleh penegak hukum lainnnya harus
mengacu pada kitab undang-undang atau perundang-undangan, sehingga undang-undang
menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat pada
preseden atau yurisprudensi.
2. Adanya
perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum publik, meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil law mengakui bahwa privat mengatur
hubungan antara warga negara dan antar perusahaan, sedangakan hukum publik
mengatur hubungan antarwarga dengan negara.tetapi perbedaanya dalam civil law membawa implikasi praktis yang
lebih mendalam. Karena
perbedaan pada civil law membawa kemudian muncul dua macam hierarki
pengadilan yaitu peradilan perdata dan peradilan pidana. Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan
peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan perdata
tetapi muncul pela peradilan tata usaha negara, peradilan untuk penyelesaian persoalan kepailitan, peradilan pajak, mahkamah konstitusi, peradilan militer,dan peradilan khusus untuk
tindak pidana korupsi (TIPIKOR). Dalam sitem common law tidak ada pengadilan
tersendiri berkenan dengan perselisihan hukum publik.[20] Didalam
sistem civil law kumpulan subtansi
privat secara prinsipil terdiri dari atas civil
law dalam pengertian hukum perdata yang selanjutnya di pecah kedalam
beberapa sub bab atau devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum
kepemilikkan, hukum
perjanjian atau kontrak.
3.
Dalam sistem civil law di kenal perbedaan hukum perdata
(civil law) hukum dagang (commercial law) hukum dagang menjadi
bagian hukum perdata, tetapi
di atur dalam kumpulan hukum yang berbeda yang di muat dalam kitab undang-undang tersendiri (french code de / hukum dagang di
prancis). Atau
kitab undang-undang hukum dagang dengan alasan yang sederhana bahwa hukum
dagang adalah bagian dari hukum perdata.sebagai lawan dari hukum pidana.[21]
Kelebihan sistem civil law, sistem
hukumnya tertulis dan terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang
berlaku dengan mudah dapat diketahui dan dapat digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadnyai
peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata hukum
pidana yang sudah di kodifikasikan (KUHP), jika tejadi pelanggaran terhadap
hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan
tersebut.
Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku,
tidak bisa mengikuti perkembangan zamana karena hakim harus tunduk terhadap
perundang-undangan yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai
keadilan masyarakat hukum harus dinamis.[22]
2. Sistem Hukum Common Law
2. Sistem Hukum Common Law
Sistem
hukum dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada
abad XI yang sering disebut sebagai sistem “Common Law” dan sistem “Unwritten Law” ( tidak
tertulis ). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya
benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis
(statues).
Dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya
kebiasaan masyarakat yang di kembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan. Hukum Inggris
karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang terus
menerus, dengan
pesat berkembangan menurut garisnya sendiri dan pada waktunya menjadi dasar
perkembangan hukum Amerika.[23]
Sistem
common law memiliki
tiga karakter yaitu:
1. 1.Yurisprudensi
di anut sebagai sumbeer hukum yang utama.
2.
2.Dianutnya prinsip sare decisis.
3. 3.Dianutnya
adversary system dalam peradilan.
Dalam perkembangannya hukum amerika bertambah bebas dalam sistem hukum aktualnya,
yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang hundamental yaitu:
1. Di
Amerika hukum yang tertinggi tertulis, yakni konstitusi Amerika yang berada di atas
tiap-tiap undang-undang di Inggris
kekuasaan parlemen
untuk membuat undang-undang tidak terbatas.
2. Karena
seringnya ada kebutuhan akan penafsiran konstitusi, hakim Amerika (di banding Inggris) lebih sering di
hadapkan pada persoalan kepentingan umum.
3. Kebutuhan
untuk mensistematisasikan hukum, di
Amerika di rasa lebih
mendesak, karena
banyaknya bahan hukum yang merupakan ancaman karena tidak mudah untuk di atur.[24]
Pertama di anutnya yurisprudensi sebagai sumber
hukum yang utama merupakan produk dari perkembangan hukum inggris yang tidak
terpengaruh oleh hukum romawi. Adapun
alasan di pergunakannya yurisprudensi ada dua hal yaitu:
1. Alasan
psikologis di mana setiap penegak hukum yang di tugasi menyelesaikan masalah
hukum sedapat mungkin mencari alasan
pembenar atas putusannya dengan merujuk pada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada
memberikan putusan lain yang mungkin akan menimbulkan polemik dan penolakan.
2. Alasan
praktis adalah diharakan adanya putusan yang seragam demi tercapainya suatu kepastian
hukum daripada adanya putusan yang berbeda-beda atas suatu kasus yang sama atau
mirip.[25]
Kedua di anutnya prinsip stare decisis atau preceden yaitu
hakim terkait untuk mengikuti putusan terdahulu yang telah ia putuskan atau
telah diputuskan oleh pengadilan lain yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (inkrcaht van gewijsde).
Konsekuensi dari prinsip ini terdapat hierarki pengadilan yang bersifat kaku di
mana hakim yang lebih rendah harrus mengikuti keputusan hakim yang lebih tinggi untuk kasus
yang sama.
Ketiga prinsip adversasy
system mengaruskan kedua belah pihak (Penggugat maupun Tergugat dalam
Perkara Perdata) atau
jaksa dan pengacara dalam perkara pidana benar-benar harus mampu menampilkan
kemampuannya meyakinkan juri dengan alat-alat bukti yang dimilikinya unntuk memenangkan
perkara. Para pembela dan jaksa
seolah-olah bersandiwara bagaimana pemain senetron untuk meyakinkan juri di
depan hakim. Hakim
dalam persidangan layaknya sebagai seorang wasit dalam pertandingan olah raga
yang hanya mengatur jalannya pertandingan, dan hakim tidak
menyatakan siapa yang salah dan siapa yang menang. Putusan benar dan salah, menang dan kalah di
serahkan sepenuhnya pada juri dan selanjutnya tinggal memutuskan hukuman atas
orang yang kalah sesuai dengan yurisprudensi sebelumnya.
Setelah lebih terinci Peter de Cruz menjelaskan
karakter sistem hukum common law sebagai berikut:[26]
a. Hukum
dalam sistem common law di landasi
oleh perkara atau atau berbasis perkara
yang di selesaikan melalui penalaran logis.
b. Hukum
di landasi oleh doktrin preceden yang
hierarkis.
c. Sumber
hukum pada umumnya
adalah undang-undang dan kasus perkara.
d. Gaya
hukumnya lebih
khusus dan banyak
mengandalkan improvisasi
serta pragmatis.
e.
Tidak ada perbedaan
antara hukum public dan privat.
Kelebihan
sistem hukum Anglo Saxon adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan
penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan
hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena
senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Kelemahannya
adalah tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan
penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut
sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi. Untuk
negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum
anglo saxon kurang tepat dianut.
3. Sistem Hukum Adat
Sistem Hukum Adat berkembang dilingkungan kehidupan
sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain. Di Indonesia asal mula istilah hukum
adat adalah dari istilah ”Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje.
Kata
“hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di
Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan
keutuhannya oleh perbagai golongan tertentu dalam lingkungan kehidupan
sosialnya, seperti masalah pakaian,
Sistem
hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum
masyarakatnya.
Sifat
hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyangnya.
Peraturan hukum adat dapat berubah-ubah karena pengaruh kejadian dan keadaan
sosial yang silih berganti. Karena sifatnya yang mudah berubah
dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial, hukum adat elastis
sifatnya. Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah
menyesuaikan diri. Menurut Rene David dalam bukunya
Major Legal System In The World Today, ia mengelompokan sistem hukum sebagai
berikut.[27]
Sistem hukum adat di Indonesia
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1.
Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur
susunan dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan
lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan penjabatnya.
2. Hukum adat mengenai warga (hukum
warga) terdiri dari: Hukum pertalian sanak (kekerabatan), (Hukum tanah), Hukum perutangan (hak-hak atasan,
transaksi tentang benda selain tanah dan jasa).
3.
Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan
reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana.
Yang
berperan dalam menjalankan sistem hukum adat adalah pemuka adat
(pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang disegani. Pengemuka
adat itu dianggap sebagai orang yang paling mampu menjalankan dan memelihara
peraturan serta selalu ditaati oleh anggota masyarakatnya berdasarkan
kepercayaan kepada nenek moyang. Peranan inilah yang sebenarnya dapat mengubah
hukum adat sesuai kebutuhan masyarakat tanpa menghapus kepercayaan dan kehendak
suci nenek moyang.
Contoh :
1)
Di Tapanuli, Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah
Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan
Batak).
2)
Di Jambi, Undang-Undang Jambi.
3)
Di Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di
dataran tinggi daerah Palembang).
4)
Di Minangkabau, Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang
tentang hukum adat delik di Minangkabau).
5)
Di Sulawesi Selatan, Amana Gapa (peraturan tentang
pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)
Di Bali, Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa
(peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.[28]
4. Sistem Hukum Islam
Sistem hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke
negara-negara lain seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara
individual maupun secara kelompok.
Sumber hukum dari sistem hukum Islam, yaitu :
1. Qur’an, yaitu kitab suci kaum muslimin yang diwahyukan dari
Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
Contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala:(QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
Contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala:(QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2.
Sunnah Nabi (hadist), yaitu cara
hidup dari nabi Muhammad SAW atau cerita tentang Nabi Muhammad SAW.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3.
Ijma, yaitu kesepakatan para ulama
besar tentang suatu hak dalam cara hidup.
Ijma’ merupakan sumber rujukan
ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah,
maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal dengannya.
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
4. Qiyas, yaitu analogi
dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.
Contohnya :
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Contohnya :
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Sistem hukum Islam dalam ”Hukum
Fikh” terdiri dari dua bidang hukum, yaitu :
1)
Hukum rohaniah (ibadat), ialah cara-cara menjalankan upacara
tentang kebaktian terhadap Allah (sholat, puasa, zakat, menunaikan ibadah
haji), yang pada dasarnya tidak dipelajari di fakultas hukum. Tetapi di UNISI
diatur dlm mata kuliah fiqh Ibadah.
2)
Hukum duniawi, terdiri dari :
Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubunganü antara manusia dalam bidang jual-bei, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
Nikah (Munakahah), yaitu perkawinan dalam arti membetuk sebuahü keluarga yang tediri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
Jinayat, yaitu pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubunganü antara manusia dalam bidang jual-bei, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
Nikah (Munakahah), yaitu perkawinan dalam arti membetuk sebuahü keluarga yang tediri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
Jinayat, yaitu pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
Sistem hukum Islam menganut suatu
keyakinan dan ajaran Islam dengan keimanan lahir batin secara individual. Negara-negara yang menganut sistem
hukum Islam dalam bernegara melaksanakan peraturan-peraturan hukumnya sesuai
dengan rasa keadilan berdasarkan peraturan perundangan yang bersumber dari
Qur’an. Dari uraian diatas tampak jelas bahwa di negara-negara
penganut asas hukum Islam, agama Islam berpengaruh sangat besar terhadap cara
pembentukan negara maupun cara bernegara dan bermasyarakat bagi warga negara
dan penguasanya.
Tidak termuat dalam
kitab undang-undang yang komprehensif itu, peraturan itu terkadang
hanya bersifat terbatas baik lingkup penggaturannya maupun wilayah berlakunya.
5. Sistem Hukum Sosialis
Sistem hukum sosialis adalah hukum dari
negara-negara yang pemerintahannya secara resmi memandang negara tersebut sebagai
sosialis atau bergerak dari kapitalisme menuju sosilisme, dan menganggap sebuah
masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya. Hukum oleh pemerintahnya atau pemimpinnya
di gunakan sebagai sarana dalam merencanakan mengorganisasikan struktur ekonomi
dan sosial tersebut,dan ia hanya sekedar bagian dari struktur ideologis yang
mengontrol realitas meteri dari sarana produksi. Ia di tentukan dan didefinisikan dalam
kaitannnya dengan fungsi politiknya, bahwa seluruh cita hukum berkaitan
dengan negara dan karena itu merupakan sarana dengan mana mereka yang dicabut
hak miliknya. Dengan berpindahnya
pemilikan alat-alat produksi ke tangan masyarakat individu atau di libatkan, sepertinya negara dan
hukum yang dibenarkan hanya oleh kebutuhan dengan paksaan.
Sumber hukum dalam sistem hukum
sosialis:keputusan tertingggi para penguasa dalam berupa produk kebijaksanaan
pemerintah atau negara. Intinya
tidak ada sumber hukum yang resmi karena:
a.
Hukum adalah penguasa negara.
b.
Hukum membela rakyat
proletar.
Queglay merangkum fitur-fitur hukum sosialis sebagai
berikut:
1) Hukum
sosialis diprogramkan untuk lenyap secara perlahan bersamaan dengan hilangnya
hak kepemilikan privat dan kelas-kelas sosial serta ttransisi menuju sebuah
tatanan sosial komunistik.
2) Negara-negara
sosialis di dominasi oleh sebuah partai politik tunggal.
3) Di
dalam sisttem sosialis hukum di subordinasikanuntuk menciptakan sebuah tatanan
ekonomi baru di mana di dalamnya hukum privat diabsorbsi oleh hukum publik.
4) Hukum
sosialis memiliki sebuah karakter pseudo religius.
5) Hukum
sosialis lebih bersifat prerogatif
ketimbang normatif.
Salah satu tipikal hukum sosialis adalah sangat
represif sehingga dengan hukuman-hukuman yang sangat keras (bahkan hukuman mati) bagi yang melawan
negara dan kejahatan
politik.
Kelompok negara yang mempergunakan sistem hukum
sosialis adalah di bagi menjadi dua kelompok yaitu:
1) Yuridiksi
sosialis yang lebih tua, seperti
Polandia, Bulgaria, Hungaria, Cekoslowakia, Romania ,Albania, RRC, Korea Utara, Vietnam, Mongolia, dan Kuba.
2) Kelompok
hkum sosialis yang baru adalah, Kamboja, Laos, Muzabik, Angola, Somalia, Ethiopia dan Ghana.
C.
Pengertian Kodifikasi
Hukum yang tertulis dikumpulkan dan disusun dalam suatu
kitab hukum mengenai suatu jenis lapangan hukum. Kitab hukum yang semacam ini
disebut kodifikasi. Kodifikasi berasal dari perkataan codex (undang-undang).
Jadi, kodifikasi hukum adalah pembukun hukum yang sejenis didalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap.[29]
Atau, kodifikasi
hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan Undang-Undang dalam materi
yang sama.[30]
Menurut R.
Soeroso, kodifikasi adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang
dalam materi yang sama.[31]
Menurut Pipin
Syarifin, pengkodifikasian hukum adalah penyusunan peraturan hukum secara
sistematis, bulat dan lengkap dalam suatu kitab undang-undang oleh badan
pemerintah yang berwenang.[32]
Menurut Surojo
Wignjodipuro, kodifikasi adalah pengumpulan pelbagai peraturan perundangan
mengenai sesuatu materi tertentu dalam suatu buku yang sistematis dan teratur,
atau pembukuan secara teratur dan sistematis daripada pelbagai peraturan
hukumyang mengenai sesuatu materi tertentu.[33]
Berdasrkan
definisi di atas dapatlah dijelaskan bahwa kodifikasi hukum itu unsur-unsurnya
terdiri atas (a) jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum pidana), (b)
sistematis, dan (c) lengkap.
Kodifikasi itu
ada yang positif dan ada yang negatif. Dari segi positinya adalah sebagai
berikut:
1.
Memperoleh
kepastian hukum (rechts zakerheid), maksudnya
dengan adanya kodifikasi masyarakat mempunyai pedoman mengenai perbuatan apa
yang tidak dapat dihindarkan, atau ditiadakan.
2.
Memperoleh
penyederhanaan hukum, maksudnya dimulai kodifikasi pelbagai corak hukum yang
merupakan akibat langsung dari tempat dan tingkat kemajuan masyarakat dari
tempat adanya pedoman yang meliputi pelbagai unsur hukum yang menjadi ukuran
kedilan.
3.
Meperoleh kesatuan
hukum (rechts eenheid/rechts unificate),
maksudnya kodifikasi, hukum memungkinkan adanya unfikasi, yakni berlaku satu
macam hukum untuk seluruh masyarakat. Contoh KUHP di Indonesia.
Adapun dari segi negatifnya adalah hukum menjadi statis.
Maksudnya dengan dibukukannya peraturan hukum dalam bentuk kodifikasi, hukum
itu sulit untuk mengimbangi perubahan masyarakat yang dinamis.[34]
Kemudian jika
melihat dari tujuan kodifikasi yaitu:
- Untuk
lebih menjamin kepastian hukum di mana suatu hukum tersebut
sungguh-sungguh telah tertulis di dalam suatu kitab undang-undang.
- Untuk
lebih memudahkan masyarakat dalam memperoleh atau memiliki dan
mempelajarinya.
- Sedapat
mungkin mengurangi dan mencegah kesimpang siuran terhadap hukum yang
bersangkutan.
- Mencegah
penyelewengan dalam pelaksanaan hukum.
- Mengurangi
keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum mengingat
dengan telah dikodifikasikannya suatu hukum, maka masyarakat menjadi lebih
mudah untuk mencari dan memperoleh serta mempelajarinya.
D.
Sejarah Kemunculan Kodifikasi dan Perkembangannya
Kodifikasi
yang diangap pertama adalah code civil
prancis atau code napoleon. Dinamakan
demikian karena Napoleonlah yang memerintahkan dan mengundangkan undang-undang
Perancis sebagai undang-undang nasional. [35]
Pada waktu napolen berkuasa sebagai kaisar, ia
memerintahkan Kepada portalis agar disusun Undang-Undang nasional yang berlaku
untuk seluruh negara Perancis, portalis menyusun rencana Undang-Undang dengan
mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis dan sebagian hukum diambil
dari Jerman dan Romawi.
Setelah disetujui rancangan
Undang-Undang tersebut yang terdiri dari 2000 pasal disahkan dan
diundangkan sebagai Undang-Undang nasiaonal Perancis dan diseluruh negara
Perancis. Hasil Code Civil dari Portalis tersebut dianggap sebagai karya
besar yang bersifat nasional.
Undang-undang
Napoleon (bahasa Perancis: Code civil des Français)
adalah undang-undang sipil Perancis yang disusun
pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte. Disusun secara cepat oleh komisi
yang terdiri dari empat orang ahli hukum terkenal Perancis dan mulai
diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804.
Meskipun
undang-undang Napoleon ini bukanlah undang-undang sipil resmi pertama yang
disusun di negara Eropa didahului oleh Codex Maximilianeus bavaricus
civilis (Bavaria, 1756), Allgemeines
Landrecht (Prussia, 1792) dan West Galician Code,
(Galicia, Austria, 1797) tetapi dianggap sebagai
undang-undang sipil pertama yang berhasil dan sangat memengaruhi perundang-undangan
di banyak negara.
Faktor
pendorong diadakan hukum di Perancis adalah untuk mengatasi tidak adanya
kepasian hukum dan kesatuan hukum, karena di negara Perancis hukum yang
dipergunakan pada waktu itu sebelum code civil adalah hukum kebiasaan atau hukum adat yang yang berlaku untuk
daerah masing-masing. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain hukum
adatnya berbeda-beda sehingga penyelesaian perkara dan putusan hakim akan
berbeda pula. [36]
Begitu juga keadaan hukum di Indonesia sebelum
adanya kondifikasi, yang berlaku adalah hukum adat. Menurut V.Vollenhoven
di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat atau rechtsgemeenschappen.
Tiap-tiap rechtgemeenschap memiliki hukum adatnya sendiri yang berbeda dengan
hukum adat di rechtgemeenschap yang lain, Sehingga bagi keseluruhan wilayah
Indonesia tidak ada kesatuan dan kepastian hukum. Untuk ini dapat dibandingkan
sebagai contoh masyarakat hukum adat Tapanuli. Di sana menganut hukum adat
garis kebapakan atau patriarchaat; keturunan laki-laki yang pegang peran,
warisanpun jatuh pada anak laki-laki sehingga anak perempuat tidak dapat
apa-apa.
Menurut
paham mereka hal tersebut dibenarkan karena apabila seorang anak permpuan kawin
ia masuk marga calon suaminya.
Sebaliknya
adat di Sumatera barat yang memegang garis keturunan ibu, ibulah yang pegang
peranan. Anak laki-laki bila kawin masuk kelarga istrinya, sehingga dapat
dibenarkan apabila anak laki-laki diwajibkan untuk mengurus anak dan harta
kekayaan yang jatuh pada anak perempuan keponakannya.
Adat di
Jawa merupakan jalan tengah antara adat Tapanuli dan adat Sumatera yakni;
di Jawa dianut garis vapak dan garis ibu (parental) kedua-duanya memilki
tanggung jawab untuk keluarganya, pihak bapak mencari nafkah sedangkan pihak ibu
mengurus rumahtangga dan anak-anaknya.
Mengenai
warisanpun diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan, meskipun pembagianya sepikul
segendongan artinya; anak laki-laki dapat dua bagian, sedangkan anak perempuan
mendapat satu bagian.
Dari
kesimpulan tadi jelaslah bahwa secara Nasional tidak terdapat kesatuan hukum
dan kepastian hukum karena masing-masing daerah menggunakan hukumnya sendiri-sendiri.
Maka dari itu Indonesia
memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.[37]
Dalam
perkembangannya lebih lanjut Perancis juga membentuk Code du Commerce dan Code
Penal. Para ahli sebelumnya mengatakan bahwa asas undang-undang hukum
nasionalnya sudah lengkap, semua permasalahan hukum terjawab dalam
Undang-Undang Nasionalnya dan hakim dalam memutuskan perkara cukup menetapkan keputusannya berdasarkan
Undang-Undang yang ada atau hakim berfungsi sebagai subsumtieautomaat atau
terompet belaka.
E.
Perkembangan Kodifikasi Hukum di Indonesia
Burgerlijk Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia
yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak
tanggal 1 Mei 1948 diberlakukan Burgerlijk
Wetboek voor Nederlandsch-Indie bagi penduduk Hindia Belanda golongan
Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan berlaku bagi penduduk golongan Timur
Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi golongan Timur Asing lainnya, dan
pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan Bumi Putera.
PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus
1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang
berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada
undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama
masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Segala badan kenegaraan dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”. Peraturan peralihan tersebut merupakan
hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada
penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama
mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain
adalah :
a. Undang-undang Pokok Agrarian ( UU
No.5/1960)
b. Undang-undang Merek (UU No.21/1967)
diganti dengan UU No.19/1992
c. Undang-undang Perkoperasian (UU
No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
d. Dan sebagainya.[38]
F.
Perkembangan Kodifikasi Hukum di Eropa Barat
Kodifikasi
hukum pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis
memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya
adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan
mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan
juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan
Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah
Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code
de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan
asas konkordansi.
Di Negara
Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata, KUUH Dagang, dan KUUH Pidana
sebagai Undang-undang.
Pendukung pandangan tersebut antara
lain :
1) Dr. Frederich, dari Jerman yang mengatakan bahwa
KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah hukum yang ada.
2)
Dr. Van Swinderen, dari Belanda yang mengatakan bahwa
Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu tentang hukum dan
isinya cukup jelas.[39]
G.
Akibat dari
Kemajuan Perkembangan Kodifikasi
Akibat
dari kemajuan perkembangan kodifikasi adalah munculnya aliran-alira hukum
sebagai berikut:
1.
Aliran Freie Rechtslehre.
Ajaran
ini timbul pada tahun 1840, karena Ajaran Legisme dianggap tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Aliran Legisme berpandangan bahwa
satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan di luar Undang- Undang tidak
ada hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi.
Menurut paham Freie Rechtslehre atau hukum bebas
menyatakan bahwa hukum tumbuh didalam masyarakat dan diciptakan oleh
masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam ( kodrat) yang sudah
merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun yang
merupakan adat istiadat.
Selanjutnya
aliran Freie Rechtslehre, berkembang menjadi dua aliran yaitu:
a)
Aliran
hukum bebas sosiologis, yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah kebiasaan-kebiasaan
dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis.
b)
Aliran
hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah hukum
alam.
2.
Aliran
Rechtsvinding ( Penemuan hukum )
Aliran ini bertolak belakang dengan aliran hukum bebas, kalau aliran
hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang- Undang, maka aliran
Rechtsvinding mempergunakan Undang-Undang dan Hukum di luar undang-undang.
Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-Undang
dan apabila ia tidak menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan hukum
sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi (penafsiran
terhadap Undang- Undang) dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan
hukum.
Menurut
aliran Rechtsvinding , hukum terbentuk dengan beberapa cara :
a)
Karena
Wetgeving ( pembentukan Undang-Undang )
b)
Karena
administrasi ( tata usaha negara )
c)
Karena
peradilan rechtsspraak atau peradilan
d) Karena kebiasaan/ tradisi yang sudah mengikat masyarakat.
e)
Karena
ilmu (wetenschap)
3.
Aliran Legisme
Aliran berpendapat
bahwa :
1. Satu-satunya aliran hukum adalah Undang-Undang
2. Di Luar Undang-Undang tidak ada hukum
3.
Dalam
aliran Legisme ini hakim hanya didasarkan pada Undang-Undang
saja.
Aliran
yang berlaku di Indonesia, Indonesia mempergunakan Rechtsvinding. Hal ini
berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada Undang- Undang dan
hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Apabila ada perkara , hakim
melakukan tindakan sebagai berikut :
1. Ia menempatkan perkara dalam proporsi yang sebenarnya.
2. Kemudian ia melihat pada Undang- Undang :
- Apabila UU menyebutnya, maka perkara diadili menurut Undang-Undang.
- Apabila UU
kurang jelas, ia mengadakan penafsiran.
- Apabila
ada ruangan-ruangan kosong, hakim mengadakan konstruksi hukum, rechtsverfijning
atau argumentum a contrario
BAB 3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
- Sebagai seorang mahasiswa yang
mengerti dan sadar akan hukum, sudah seharusnyalah kita bisa menjadi
contoh yang baik bagi masyarakat luas (Agen Of Change) dalam
menjalankan dan melaksanakan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah dan
aturan-aturan yang ada sehingga masyarakat luas akan sadar dan menjalankan
hukum itu sendiri. Bukan malah menjadi yang pertama dalam melanggar hukum
karena kita paham dan mengaerti hukum.
- Hukum bisa dibagi bermacam-macam
berdasarkan sumbernya, bentuknya, tempat berlakunya, waktu berlakunya,
cara mempertahankannya, sifatnya, wujudnya, dan isinya.
- Dalam menjalankan aktivitas
kehidupan kita sehari-hari, sebagai seorang warganegara yang baik
hendaklah kita mematuhi dan mentaati hukum yang berlaku baik itu hukum
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis di dalam masyarakat.
B.
SARAN
Mungkin
inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun penulisan ini jauh
dari sempurna minimal kami mengimplementasikan tulisan ini. kami juga butuh
kritik dan saran agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik
daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen
pembimbing yang telah memberi tugas ,untuk kebaikan penulis sendiri, kelompok
,mapun untuk pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Asikin, zainal. 2013. Pengantar
Tata Hukum Indonesia. Jakarta. Raja
Wali Pers.
Ishaq,
2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum.Jakarta.
Sinar Grafika.
Rumokoy,
Donald Albert & Maramis, Frans. 2014. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta. Rajawali
Pers.
http://sistem-hukum.blogspot.com/2014/10/macam-macam-sistem-hukum.html, di akses pada tanggal 1 november 2016.
http://www.pengertianpakar.com/2014/10/pengertian-sistem-hukum-menurut-para-pakar.html, di akses pada tanggal 1 November
http://caw-tumus.blogspot.co.id/2013/11/kodifikasi-hukum-dan-perkembangannya.html, di akses pada tanggal 1 November 2016
http://cintakamumerlina.blogspot.co.id/2013/10/pengantar-ilmu-hukum-kodifikasi-hukum.html, di akses pada tanggal 2 November.
http://riamarsella.blogspot.co.id/2012/12/kodifikasi.html, di akses pada tanggal 2 November
[2] http://caw-tumus.blogspot.co.id/2013/11/kodifikasi-hukum-dan-perkembangannya.html, di akses
pada tanggal 1 november 2016.
[3]Hans Kelsen,
General Theory of Norms, terjemahan
Michael Hartney dari Allgemeine Theory
der Normen. New york: Oxford University Press, 1991, hlm. xxi’ ”... that a legal system is a hierarchy of
norms regulate the creation of flower-level norms.”dalam buku Donald Albert
Rumokoy & Frans Maramis, Pengantar
Ilmu Hukum.cet. 1., hlm. 68.
[4] Donald
Albert Rumokoy & Frans Maramis, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm. 69.
[5] http://www.pengertianpakar.com/2014/10/pengertian-sistem-hukum-menurut-para-pakar.html, di akses pada tanggal 1 november
[6] Nur
Khalif Hazin, A.R. Elham, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Ilmu, tt), hlm. 406., dalam buku Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), cet. 1., hlm. 181.
[8] Lili
Rasyidi, I.B. Wyasa Putra , Hukum Sebagai
Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 104., dalam buku
Ishaq, ibid,
[9] Sudikno
Mertukusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm 115., dalam buku Ishaq, ibid, hlm. 182
[10] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Yoogyakarta:
Libety, 199), hlm. 105., dalam buku Ishaq, ibid.
[13] Lawrence M.
Friedman, Law And Society, an Introduction, (New Jersey: Printice Hall,
1997), hlm. 7., dalam buku Ishaq, ibid., hlm.
183
[15] Soleman B.
Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam
Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafinda Persada, 1993), hlm. 27., dalam buku
Ishaq, ibid.
[17] Fuller dalam
Sajipto rahardjo, Hukum dan Masyarakat,
(Bandung: Angkasa, 1979), hlm. 78., dalam buku
ishaq, ibid.
[20] Peter De
Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common
Law, Civil Law dan Socialist Law), (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 63.,
dalam buku Zainal Asikin, hlm. 82.
[22]
Dalam website sistem hukum, http://sistem-hukum.blogspot.com/2014/10/macam-macam-sistem-hukum.html, di akses pada tanggal 1 november 2016.
[27] H.R. Sardjono, Bunga
Rampai Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Ind Hill Co, 1991), hlm.48
[28]http://sistem-hukum.blogspot.com/2014/10/macam-macam-sistem-hukum.html, di akses pada tanggal 1 november 2016.
[30]
http://cintakamumerlina.blogspot.co.id/2013/10/pengantar-ilmu-hukum-kodifikasi-hukum.html, di akses pada tanggal 2 november.
[34] Ishaq, ibid.
[36]Ishaq, ibid,. hlm. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar