Senin, 20 Februari 2017

Makalah Pengantar Ilmu Hukum tentang SISTEM HUKUM DAN KONDIFIKASI

SISTEM HUKUM DAN KONDIFIKASI



BAB 1
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Lahirnya suatu sistem hukum yang dipergunakan di suatu negara tidak lepas dari sejarah tradisi (hukum) dan budaya (hukum) legal culture yang di anut pada masyarakat tersebut. Bagi masyarakat yang menganggap praktik-praktik kebiasaan yang melembaga dan kemudian menjelma menjadi hukum, maka sistem hukumnya menjadi tradisi sistem hukum tidak tertulis sebagai bagian spirit of the people suatu bangsa. Sebaliknnya ketika tradisi dan budaya tata tulis telah menjadi semangat kepastian hukum suatu bangsa, maka sistem hukumnya menjelma menjadi sistem hukum tertulis yang di kodifikasikan.[1]
Sebelum adanya kodifikasi atau hukum nasional yang berlaku, hukum yang di pakai di setiap daerah adalah hukum adat. Menurut V.vVollenhoven, di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat, sehingga bagi keseluruhan wilayahnya tidak ada kesatuan dan kepastian hukum.[2]
Maka demi untuk adanya kesatuan dan kepastian hukum, Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.
Sebab dari itu semua, maka pada makalah ini kami akan membahas tentang sistem hukum dan  kodifkasi. Yang di uraikan oleh para ahli dan melihat sejarah terbentuknya.



BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sistem Hukum
Dalam memberikan pengertian pada kata “sistem hukum“, bukanlah perkara yang mudah, dan tanpa alasan. Semua itu harus dipertimbangkan dan dapat dipertanggungjawabkan.  Maka dari itu banyak para ahli pun yang mengarartikan sistem hukum ini berbeda-beda pendapatnya. Tetapi mereka bukan tanpa alasan mengartikan sistem hukum itu sendiri, melainkan mereka dapat dari hasil berpikir dan pengalaman yang tidak cukup memakan waktu sebentar.
Berikut penjelasan sistem hukum menurut para ahli:
Menurut Hans Kelsen, sistem hukum adalah suatu hierarki dari norma- norma dimana norma-norma bertingkat lebih tinggi mengatur penciptaan atas norma-norma bertingkat lebih rendah.[3]Dua hal yang dikemukakan dalam kalimat ini, yaitu: (1) sistem hukum adalah suatu hierarki dari norma-norma. Ini berkenaan dengan tata urutan pertauran perundang-undangan dimana peraturan-peraturan tersebut dibagi atas beberapa tingkat; dan, (2) norma bertingkat lebih tinggi mengatur penciptaan norma bertingkat lebih rendah. Dalam hal ini, norma bertingkat lebih tinggi memiliki fungsi pemeberian keuasaan untuk menciptakan norma-norma bertingkat lebih rendah. Sebagai contoh, norma-norma dalam Peraturan Pemerintah. [4] 
Menurut Subekti, sistem hukum merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.[5]
     Menurut Nur Khalif Hazim, A.R. Elham, kata sistem berarti susunan,[6] kesatuan dari bagian-bagian yang saling bergantung. Sistem merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian atau subsistem. Subsistem ini saling berkaitan yang tidak boleh bertentangan, dan apabila memang terjadi pertentangan, maka selalu ada jalan untuk menyelesaikannya.[7]  
             Menurut Lili Rasyidi dan I.B. Wiya Saputra, sitem hukum adalah suatu kesatuan sistem yang tersusun atas integritas sebagai komponen sistem hukum yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terikat, bergantung, mempengaruhi, bergerak dalam kesatuan proses, yakni proses sistem hukum untuk mewujudkan tujuan hukum.[8]
Menurut Sukdikno Mortokusumo, menjelaskan bahwa sistem hukum itu merupakan tatanan, suatu kesatuan yang utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain.[9]
Menurut Marwanmas, sistem hukum adalah susunan sebagai satu kesatuan yang tersusun dari sejumlah bagian yang dinamakan subsistem hukum, yang secara bersama-sama mewujudkan kesatuan yang utuh.[10]
Oleh karena itu, untuk mecapai tujuan hukum dalam suatu keesatuan, diperlukan kesatuan sinergi antara unsur atau komponen yang tekandung didalam sistem hukum seperti masyarakat hukum, budaya hukum, filsafat hukum pendidikan hukum (ilmu hukum), konsep hukum, pembentukan hukum, penerapan hukum dan evaluasi hukum.[11]
Unsur-unsur atau komponen sistem hukum di atas dapat dijelaskan oleh Lili Rasjidi, dan I.B. Wyasa Putra, yaitu sebaga berikut:
1.      Masyarakat hukum, merupakan himpunan kelompok kesatuan hukum, baik individu ataupun kelompok yang strukturnya ditentukan oleh tipenya masing-masing ( sederhana, negara, atau masyarkat internasional).
2.      Budaya hukum, merupakan pemikiran manusia dalam usahanya mengatur kehidupannya; dikenal tiga budaya hukum masyarakat hukum, yaittu budaya hukum tertulis, tidak tertulis dan kombinatif.
3.      Filsafat hukum, merupakan formulasi nilai tentang cara mengatur kehidupan manusia; dapat bersifat umum (universal) dapat bersifat khusus ( milik suatu masyarakat hukum tertentu).
4.      Ilmu penddidan hukum, merupakan media komunikasi antara teori dan praktik hukum; juga merupakan media pengembangan teori-teori hukum, desain-desain, dan formula-formula hukum praktis (konsep hukum).
5.      Konsep hukum, merupakan formulasi kebijaksanaan hukum yang diteatpkan oelh suatu masyarakat; berisi tentang budaya hukum yang dianutnya (tertulis, tidak tertulis, atau kombinatif), berisis formulasi nilai hukum (konsepsi filosofis) yang dianutnya; dan mengenai proses pembentuakan, penetapan, pengembangan dan pembangunan hukum yang hendak dilaksanakannya.
6.      Pembentukan hukum, merupakan bagian proses hukum yang meliputi lembaga-aparatur- dan sarana pembentkan hukum; menurut konsep hukum yang telah ditetapkan; termasuk prosedur-prosedur yang harus dilaluinya.
7.      Bentuk hukum, merupakan hasil proses pembentukan hukum; dapat berupa peraturan perundang-undangan (jika pembentukannya melalui legislatif, atau lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi legislatif) dapat berupa keputusan hakim (jika hakim diberi kewenangan untuk itu).
8.      Penerapan hukum, merupakan proses kelanjutan dari proses pembentukan hukum; meliputi lembaga, aparatur, saran, dan prosedur penerapan hukum.
9.      Evaluasi hukum, merupakan proses pengujian kesesuaian antara hukum yang berbentuk dengan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya, dan pengujian kesesuaian antara hasil penerapan hukum dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dalam konsep ataupun dalam peraturan perundangan.[12]
Selanjutnya, Menuurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum merupakan suatu sistem yang meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.[13] Struktur merupakan hal yang menyangkut lembaga-lembaga (pranata sosial), seperti legislatif, ekseutif, dan yudikatif, bagaimana lembaga itu menjalankan fungsinya.
Struktur juga berarti bagaiman lembaga legislatif menajalankan fungsinya, berapa anggota yang duduk sebagai anggota, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, bagimana aparat menegakan hukum (polisi) menjalankan tugasnya dan lainya. (structure also means how the legislature is organized, how many mebers sit  on the federal trade commission, what the president can (legally) do or not do, what precedures the police departement folows, and so on).[14]
Adapun menurut Soleman B. Taneko, beliau pernah menjelaskan bahwa struktur hukum, mempunyai pola, bentuk dan gaya. Struktur adalah badan, rangka kerja, dan bentuk yang tetap. Pengadilan atau kepolisian, merupakan organisasi.[15]
Substansi adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia, yaitu peraturan, norma-norma dan pola perilaku masyarakat dalam suatu sistem (substancy, by this mean the actual rules, norms, and behavior petterns of people inside the system).
Dengan demikian, susbstansi hukum itu pada hakikatnya mencangkup semua peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, seperti keputusan pengadilan yang dapat menjadi peraturan baru ataupun hukum yang baru, hukum materill (hukum substansif), hukum formil (hukum ajektif) dan hukum adat.
Disamping struktur dan substansi, sistem hukum yang ketiga adalah budaya hukum, yaitu sikap Masyarakat, kepercayaan masyarakat, nilai-nilai yang di anut masyarakat dan ide-ide atau pengharapan mereka terhadap hukum dan sistem hukum. (the legal culture, by this we mean people’s attitudes toward law and the legal system-their beliefs, values, ideas, and epectations).
Dalam hal ini kultur hukum merupakan gambaran dari sikap dan perilaku terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang sesuai dan dapat diterima oleh warga masyarakat dalam kerangka budaya masyarakat.
Jika diibaratkan sebuah mesin, struktur adalah mesinnya, substansi adalah produk yang dihasilkan oleh mesin, sedangkan budaya hukum merupakan orang yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut, dan bagimana menentukan mesin tesebut layak digunakan atau tidak. Perwujudan dari dari budaya hukum masyarakat adalah adanya kesadaran hukum dengan indikator berupa adanya pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap hukum.[16] 
Mengukur hukum sebagai suatu sistem, menurut fuller yang dikutip oleh Sajipto Rahardo harus diletakkan pada delapan nilai-nilai yag dinamakan principle of legality (prinsip legalitas) yang menjadi syarat keberadaan sistem hukum, memberikan pengkualifikasian bagi sistem sebagai satu keatuan yang mengandung suatu moralitas tertentu. Kedelapan nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Harus ada peraturan terlebih dahulu ; hal ini berarti, tidak ada tempat bagi keputusaan secara ad hoc, atau tindakan yang bersifat arbiter.
2.      Peraturan itu harus diumumkan secara layak.
3.      Peraturan itu tidak boleh berlaku surut.
4.      Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci; ia harus dapat dimengerti oleh rakyat.
5.      Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6.      Di antara sesama peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7.      Peraturan harus tetap, tidak boleh diubah.
8.      Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.[17]

B.     Macam–macam Sistem Hukum
Berikut akan di uraikan beberapa macam-macam sistem hukum.
1.             Sistem Hukum Civil Law
Sistem ini di turunkan dari hukum Romawi Kuno dan pertama kali diterapkan di Eropa berdasarkan  jus civile Romawi yaitu hukum privat yang di aplikasikan kepada warga negara dan di antara warga negara sistem hukum ini juga disebut jus guiritium sebagai lawan sistem jus gentium  untuk di aplikasikan secara internasional, yakni antar negara.[18]
 Dalam perjalanan waktu hukum romawi tersebut kemudian di komplikasikan bahkan kemudian di kodifikasikan.
Dalam sistem hukum civi law istilah “code” (undang-undang) adalah sekumpulan klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif, komprehensif dan sistematis yang dimuat dalam kitab atau bagian yang di susun secara logis dengan hukum terkait.Oleh sebab itu,peraturan civil law di anggap sebagai sumber hukum utama, di mana semua sumber hukum lainnya menjadi subordinatornya, dan sering kali dalam masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukkumnya.
Sedangkan  dalam sistem hukum  common  law meskipun di jumpai penggunaan istilah code”untuk peraturan hukum, akan tetapi peraturan hukum itu tidak termuat dalam kitab undang-undang yang komprehensif itu, peraturan itu terkadang hanya bersifat terbatas baik lingkup penggaturannya maupun wilayah berlakunya.[19]
Untuk memudahkan memahami karakter sistem hukum civi law maka dibawah ini akan di uraikan beberapa karakternya sebagai berikut:
1.    Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh hakim dan oleh penegak hukum lainnnya harus mengacu pada kitab undang-undang atau perundang-undangan, sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak terikat pada preseden atau yurisprudensi.

2.    Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum publik, meskipun secara konseptual sistem common law maupun civil law mengakui bahwa privat mengatur hubungan antara warga negara dan antar perusahaan, sedangakan hukum publik mengatur hubungan antarwarga dengan negara.tetapi perbedaanya dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih mendalam. Karena perbedaan pada civil law  membawa kemudian muncul dua macam hierarki pengadilan yaitu peradilan perdata dan peradilan pidana. Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia perbedaan peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan perdata tetapi muncul pela peradilan tata usaha negara, peradilan  untuk penyelesaian persoalan kepailitan, peradilan pajak, mahkamah konstitusi, peradilan militer,dan peradilan khusus untuk tindak pidana korupsi (TIPIKOR). Dalam sitem common law tidak ada pengadilan tersendiri berkenan dengan perselisihan hukum publik.[20] Didalam sistem civil law kumpulan subtansi privat secara prinsipil terdiri dari atas civil law dalam pengertian hukum perdata yang selanjutnya di pecah kedalam beberapa sub bab atau devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim hukum kepemilikkan, hukum perjanjian atau kontrak.

3.        Dalam sistem civil law di kenal perbedaan hukum perdata (civil law) hukum dagang (commercial law) hukum dagang menjadi bagian hukum perdata, tetapi di atur dalam kumpulan hukum yang berbeda yang di muat dalam  kitab undang-undang tersendiri (french code de / hukum dagang di prancis). Atau kitab undang-undang hukum dagang dengan alasan yang sederhana bahwa hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata.sebagai lawan dari hukum pidana.[21]
Kelebihan sistem civil law, sistem hukumnya tertulis dan terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan dapat digunakan  untuk menyelesaikan setiap terjadnyai peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata hukum pidana yang sudah di kodifikasikan (KUHP), jika tejadi pelanggaran terhadap hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan tersebut.

Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku, tidak bisa mengikuti perkembangan zamana karena hakim harus tunduk terhadap perundang-undangan yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai keadilan masyarakat hukum harus dinamis.[22]

2.      Sistem Hukum Common Law
Sistem hukum dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika”, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai sistem “Common  Law” dan sistem “Unwritten Law” ( tidak tertulis ). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetapi tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statues).
Dalam sistem ini tidak  ada sumber hukum, sumber hukum hanya kebiasaan masyarakat yang di kembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan.  Hukum Inggris karena keadaan geografis dan perkembangan politik serta sosial yang terus menerus, dengan pesat berkembangan menurut garisnya sendiri dan pada waktunya menjadi dasar perkembangan hukum Amerika.[23]
Sistem common law memiliki tiga karakter yaitu:
1.      1.Yurisprudensi di anut sebagai sumbeer hukum yang utama.
2.      2.Dianutnya prinsip sare decisis.
3.      3.Dianutnya adversary system dalam peradilan.
Dalam perkembangannya hukum amerika bertambah bebas dalam sistem hukum aktualnya, yang lama kelamaan terdapat perbedaan yang hundamental yaitu:
1.      Di Amerika  hukum yang tertinggi tertulis, yakni konstitusi Amerika yang berada di atas tiap-tiap undang-undang di Inggris kekuasaan parlemen untuk membuat undang-undang tidak terbatas.
2.      Karena seringnya ada kebutuhan akan penafsiran konstitusi, hakim Amerika (di banding Inggris) lebih sering di hadapkan pada persoalan kepentingan umum.
3.      Kebutuhan untuk mensistematisasikan hukum, di Amerika di rasa lebih mendesak, karena banyaknya bahan hukum yang merupakan ancaman karena tidak mudah untuk di atur.[24]
Pertama di anutnya yurisprudensi sebagai sumber hukum yang utama merupakan produk dari perkembangan hukum inggris yang tidak terpengaruh oleh hukum romawi. Adapun alasan di pergunakannya yurisprudensi ada dua hal yaitu:
1.      Alasan psikologis di mana setiap penegak hukum yang di tugasi menyelesaikan masalah hukum sedapat mungkin mencari alasan pembenar atas putusannya dengan merujuk pada putusan yang telah ada sebelumnya dari pada memberikan putusan lain yang mungkin akan menimbulkan polemik dan penolakan.
2.      Alasan praktis adalah diharakan adanya putusan yang seragam demi tercapainya suatu kepastian hukum daripada adanya putusan yang berbeda-beda atas suatu kasus yang sama atau mirip.[25]
Kedua di anutnya prinsip stare decisis atau preceden yaitu hakim terkait untuk mengikuti putusan terdahulu yang telah ia putuskan atau telah diputuskan oleh pengadilan lain yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrcaht van gewijsde). Konsekuensi dari prinsip ini terdapat hierarki pengadilan yang bersifat kaku di mana hakim yang lebih rendah harrus mengikuti keputusan hakim yang lebih tinggi untuk kasus yang sama.
Ketiga prinsip adversasy system mengaruskan kedua belah pihak (Penggugat maupun Tergugat dalam Perkara Perdata) atau jaksa dan pengacara dalam perkara pidana benar-benar harus mampu menampilkan kemampuannya meyakinkan juri dengan alat-alat bukti yang dimilikinya unntuk memenangkan perkara. Para pembela dan jaksa seolah-olah bersandiwara bagaimana pemain senetron untuk meyakinkan juri di depan hakim. Hakim dalam persidangan layaknya sebagai seorang wasit dalam pertandingan olah raga yang hanya mengatur  jalannya pertandingan, dan hakim tidak menyatakan siapa yang salah dan siapa yang menang. Putusan benar dan salah, menang dan kalah di serahkan sepenuhnya pada juri dan selanjutnya tinggal memutuskan hukuman atas orang yang kalah sesuai dengan yurisprudensi sebelumnya.
Setelah lebih terinci Peter de Cruz menjelaskan karakter sistem hukum common law  sebagai berikut:[26]
a.       Hukum dalam sistem common law di landasi oleh perkara atau atau berbasis  perkara yang di selesaikan melalui penalaran logis.
b.      Hukum di landasi oleh doktrin preceden yang hierarkis.
c.       Sumber hukum pada umumnya adalah undang-undang dan kasus perkara.
d.      Gaya hukumnya lebih khusus dan banyak mengandalkan improvisasi serta pragmatis.
e.       Tidak ada perbedaan antara hukum public dan privat.
Kelebihan sistem hukum Anglo Saxon adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Kelemahannya adalah tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi. Untuk negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum anglo saxon kurang tepat dianut.
3.       Sistem Hukum Adat
Sistem Hukum Adat berkembang dilingkungan kehidupan sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain. Di Indonesia asal mula istilah hukum adat adalah dari istilah ”Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje.
Kata “hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhannya oleh perbagai golongan tertentu dalam lingkungan kehidupan sosialnya, seperti masalah pakaian,
Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.
Sifat hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyangnya. Peraturan hukum adat dapat berubah-ubah karena pengaruh kejadian dan keadaan sosial yang silih berganti. Karena sifatnya yang mudah berubah dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial, hukum adat elastis sifatnya. Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri. Menurut Rene David dalam bukunya Major Legal System In The World Today, ia mengelompokan sistem hukum sebagai berikut.[27]
Sistem hukum adat di Indonesia dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur susunan dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan penjabatnya.
2.      Hukum adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari: Hukum pertalian sanak (kekerabatan), (Hukum tanah), Hukum perutangan (hak-hak atasan, transaksi tentang benda selain tanah dan jasa).
3.      Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana.
Yang berperan dalam menjalankan sistem hukum adat adalah pemuka adat (pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang disegani. Pengemuka adat itu dianggap sebagai orang yang paling mampu menjalankan dan memelihara peraturan serta selalu ditaati oleh anggota masyarakatnya berdasarkan kepercayaan kepada nenek moyang. Peranan inilah yang sebenarnya dapat mengubah hukum adat sesuai kebutuhan masyarakat tanpa menghapus kepercayaan dan kehendak suci nenek moyang.
 Contoh :
1)      Di Tapanuli, Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2)      Di Jambi, Undang-Undang Jambi.
3)      Di Palembang, Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4)      Di Minangkabau, Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di Minangkabau).
5)      Di Sulawesi Selatan, Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)
 Di Bali, Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.[28]

4.
       Sistem Hukum Islam

Sistem hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke negara-negara lain seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara individual maupun secara kelompok.
Sumber hukum dari sistem hukum Islam, yaitu :
1.   Qur’an, yaitu kitab suci kaum muslimin yang diwahyukan dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
Contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala:(QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

2.    Sunnah Nabi (hadist), yaitu cara hidup dari nabi Muhammad SAW atau cerita tentang Nabi Muhammad SAW.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.

As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

3.    Ijma, yaitu kesepakatan para ulama besar tentang suatu hak dalam cara hidup.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

4.    Qiyas, yaitu analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.
Contohnya :
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Sistem hukum Islam dalam ”Hukum Fikh” terdiri dari dua bidang hukum, yaitu :
1)      Hukum rohaniah (ibadat), ialah cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah (sholat, puasa, zakat, menunaikan ibadah haji), yang pada dasarnya tidak dipelajari di fakultas hukum. Tetapi di UNISI diatur dlm mata kuliah fiqh Ibadah.
2)      Hukum duniawi, terdiri dari :
 Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan
ü antara manusia dalam bidang jual-bei, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
 Nikah (Munakahah), yaitu perkawinan dalam arti membetuk sebuah
ü keluarga yang tediri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
 Jinayat, yaitu pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.

Sistem hukum Islam menganut suatu keyakinan dan ajaran Islam dengan keimanan lahir batin secara individual. Negara-negara yang menganut sistem hukum Islam dalam bernegara melaksanakan peraturan-peraturan hukumnya sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan peraturan perundangan yang bersumber dari Qur’an. Dari uraian diatas tampak jelas bahwa di negara-negara penganut asas hukum Islam, agama Islam berpengaruh sangat besar terhadap cara pembentukan negara maupun cara bernegara dan bermasyarakat bagi warga negara dan penguasanya.
Tidak termuat dalam kitab undang-undang yang komprehensif  itu, peraturan itu terkadang hanya bersifat terbatas baik lingkup penggaturannya maupun wilayah berlakunya. 

5.       Sistem Hukum Sosialis

Sistem hukum sosialis adalah hukum dari negara-negara yang pemerintahannya secara resmi memandang negara tersebut sebagai sosialis atau bergerak dari kapitalisme menuju sosilisme, dan menganggap sebuah masyarakat komunistik sebagai tujuan puncaknya. Hukum oleh pemerintahnya atau pemimpinnya di gunakan sebagai sarana dalam merencanakan mengorganisasikan struktur ekonomi dan sosial tersebut,dan ia hanya sekedar bagian dari struktur ideologis yang mengontrol realitas meteri dari sarana produksi. Ia di tentukan dan didefinisikan dalam kaitannnya dengan fungsi politiknya, bahwa seluruh cita hukum berkaitan dengan negara dan karena itu merupakan sarana dengan mana mereka yang dicabut hak miliknya. Dengan berpindahnya pemilikan alat-alat produksi ke tangan masyarakat individu atau di libatkan, sepertinya negara dan hukum yang dibenarkan hanya oleh kebutuhan dengan paksaan.
            Sumber hukum dalam sistem hukum sosialis:keputusan tertingggi para penguasa dalam berupa produk kebijaksanaan pemerintah atau negara. Intinya tidak ada sumber hukum yang resmi karena:
a.         Hukum adalah penguasa negara.
b.        Hukum membela rakyat proletar.
Queglay merangkum fitur-fitur hukum sosialis sebagai berikut:
1)      Hukum sosialis diprogramkan untuk lenyap secara perlahan bersamaan dengan hilangnya hak kepemilikan privat dan kelas-kelas sosial serta ttransisi menuju sebuah tatanan sosial komunistik.
2)      Negara-negara sosialis di dominasi oleh sebuah partai politik tunggal.
3)      Di dalam sisttem sosialis hukum di subordinasikanuntuk menciptakan sebuah tatanan ekonomi baru di mana di dalamnya hukum privat diabsorbsi oleh hukum publik.
4)      Hukum sosialis memiliki sebuah karakter pseudo religius.
5)      Hukum sosialis  lebih bersifat prerogatif ketimbang normatif.
Salah satu tipikal hukum sosialis adalah sangat represif sehingga dengan hukuman-hukuman yang sangat keras (bahkan hukuman mati) bagi yang melawan negara dan kejahatan politik.
Kelompok negara yang mempergunakan sistem hukum sosialis adalah di bagi menjadi dua kelompok yaitu:
1)      Yuridiksi sosialis yang lebih tua, seperti Polandia, Bulgaria, Hungaria, Cekoslowakia, Romania ,Albania, RRC, Korea Utara, Vietnam, Mongolia, dan Kuba.
2)      Kelompok hkum sosialis yang baru adalah, Kamboja, Laos, Muzabik, Angola, Somalia, Ethiopia dan Ghana.

C.    Pengertian Kodifikasi
Hukum yang tertulis dikumpulkan dan disusun dalam suatu kitab hukum mengenai suatu jenis lapangan hukum. Kitab hukum yang semacam ini disebut kodifikasi. Kodifikasi berasal dari perkataan codex (undang-undang). Jadi, kodifikasi hukum adalah pembukun hukum yang sejenis didalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.[29] Atau, kodifikasi hukum adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan Undang-Undang dalam materi yang sama.[30]
Menurut R. Soeroso, kodifikasi adalah pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama.[31]
Menurut Pipin Syarifin, pengkodifikasian hukum adalah penyusunan peraturan hukum secara sistematis, bulat dan lengkap dalam suatu kitab undang-undang oleh badan pemerintah yang berwenang.[32]
Menurut Surojo Wignjodipuro, kodifikasi adalah pengumpulan pelbagai peraturan perundangan mengenai sesuatu materi tertentu dalam suatu buku yang sistematis dan teratur, atau pembukuan secara teratur dan sistematis daripada pelbagai peraturan hukumyang mengenai sesuatu materi tertentu.[33]
Berdasrkan definisi di atas dapatlah dijelaskan bahwa kodifikasi hukum itu unsur-unsurnya terdiri atas (a) jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum pidana), (b) sistematis, dan (c) lengkap.
Kodifikasi itu ada yang positif dan ada yang negatif. Dari segi positinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperoleh kepastian hukum (rechts zakerheid), maksudnya dengan adanya kodifikasi masyarakat mempunyai pedoman mengenai perbuatan apa yang tidak dapat dihindarkan, atau ditiadakan.
2.      Memperoleh penyederhanaan hukum, maksudnya dimulai kodifikasi pelbagai corak hukum yang merupakan akibat langsung dari tempat dan tingkat kemajuan masyarakat dari tempat adanya pedoman yang meliputi pelbagai unsur hukum yang menjadi ukuran kedilan.
3.      Meperoleh kesatuan hukum (rechts eenheid/rechts unificate), maksudnya kodifikasi, hukum memungkinkan adanya unfikasi, yakni berlaku satu macam hukum untuk seluruh masyarakat. Contoh KUHP di Indonesia.
Adapun dari segi negatifnya adalah hukum menjadi statis. Maksudnya dengan dibukukannya peraturan hukum dalam bentuk kodifikasi, hukum itu sulit untuk mengimbangi perubahan masyarakat yang dinamis.[34]
Kemudian  jika melihat dari tujuan kodifikasi yaitu:
  1. Untuk lebih menjamin kepastian hukum di mana suatu hukum tersebut sungguh-sungguh telah tertulis di dalam suatu kitab undang-undang.
  2. Untuk lebih memudahkan masyarakat dalam memperoleh atau memiliki dan mempelajarinya.
  3. Sedapat mungkin mengurangi dan mencegah kesimpang siuran terhadap hukum yang bersangkutan.
  4. Mencegah penyelewengan dalam pelaksanaan hukum.
  5. Mengurangi keadaan yang berlarut-larut dari masyarakat yang buta hukum mengingat dengan telah dikodifikasikannya suatu hukum, maka masyarakat menjadi lebih mudah untuk mencari dan memperoleh serta mempelajarinya.
D.    Sejarah Kemunculan Kodifikasi dan Perkembangannya

Kodifikasi yang diangap pertama adalah code civil prancis atau code napoleon. Dinamakan demikian karena Napoleonlah yang memerintahkan dan mengundangkan undang-undang Perancis sebagai undang-undang nasional. [35]

Pada waktu napolen berkuasa  sebagai kaisar, ia memerintahkan Kepada portalis agar disusun Undang-Undang nasional yang berlaku untuk seluruh negara Perancis, portalis menyusun rencana Undang-Undang dengan mengambil hukum kebiasaan yang berlaku di Perancis dan sebagian hukum diambil dari Jerman  dan Romawi.
Setelah disetujui  rancangan Undang-Undang tersebut yang terdiri dari 2000 pasal disahkan dan diundangkan  sebagai Undang-Undang nasiaonal Perancis dan diseluruh negara Perancis. Hasil Code Civil dari Portalis tersebut dianggap sebagai karya besar  yang bersifat nasional.
Undang-undang Napoleon (bahasa Perancis: Code civil des Français) adalah undang-undang sipil Perancis yang disusun pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte. Disusun secara cepat oleh komisi yang terdiri dari empat orang ahli hukum terkenal Perancis dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804.
Meskipun undang-undang Napoleon ini bukanlah undang-undang sipil resmi pertama yang disusun di negara Eropa didahului oleh Codex Maximilianeus bavaricus civilis (Bavaria, 1756), Allgemeines Landrecht (Prussia, 1792) dan West Galician Code, (GaliciaAustria, 1797) tetapi dianggap sebagai undang-undang sipil pertama yang berhasil dan sangat memengaruhi perundang-undangan di banyak negara.
Faktor pendorong diadakan hukum di Perancis adalah untuk mengatasi tidak adanya kepasian hukum dan kesatuan hukum, karena di negara Perancis hukum yang dipergunakan pada waktu itu sebelum code civil adalah hukum kebiasaan  atau hukum adat yang yang berlaku untuk daerah masing-masing. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lain hukum adatnya berbeda-beda sehingga penyelesaian perkara dan putusan hakim akan berbeda pula. [36]
Begitu juga keadaan hukum di Indonesia sebelum adanya kondifikasi, yang berlaku adalah  hukum adat. Menurut V.Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 macam masyarakat hukum adat atau rechtsgemeenschappen. Tiap-tiap rechtgemeenschap memiliki hukum adatnya sendiri yang berbeda dengan hukum adat di rechtgemeenschap yang lain, Sehingga bagi keseluruhan wilayah Indonesia tidak ada kesatuan dan kepastian hukum. Untuk ini dapat dibandingkan sebagai contoh masyarakat hukum adat Tapanuli. Di sana menganut hukum adat garis kebapakan atau patriarchaat; keturunan laki-laki yang pegang peran, warisanpun jatuh pada anak laki-laki sehingga anak perempuat tidak dapat apa-apa.
Menurut paham mereka hal tersebut dibenarkan karena apabila seorang anak permpuan kawin ia masuk marga calon suaminya.
Sebaliknya adat di Sumatera barat yang memegang garis keturunan ibu, ibulah yang pegang peranan. Anak laki-laki bila kawin masuk kelarga istrinya, sehingga dapat dibenarkan apabila anak laki-laki diwajibkan untuk mengurus anak dan harta kekayaan yang jatuh pada anak perempuan keponakannya.
Adat di Jawa merupakan jalan tengah antara adat Tapanuli dan adat Sumatera  yakni; di Jawa dianut garis vapak dan garis ibu (parental) kedua-duanya memilki tanggung jawab untuk keluarganya, pihak bapak mencari nafkah sedangkan pihak ibu mengurus rumahtangga dan anak-anaknya.
Mengenai warisanpun  diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan, meskipun pembagianya sepikul segendongan artinya; anak laki-laki dapat dua bagian, sedangkan anak perempuan mendapat satu bagian.
Dari kesimpulan tadi jelaslah bahwa secara Nasional tidak terdapat kesatuan hukum dan kepastian hukum karena masing-masing daerah menggunakan hukumnya sendiri-sendiri. Maka dari itu Indonesia memerlukan hukum yang bersifat nasional, yang berlaku sama bagi seluruh warga negara Republik Indonesia.[37]
Dalam perkembangannya lebih lanjut Perancis juga membentuk Code du Commerce dan Code Penal. Para ahli sebelumnya mengatakan bahwa asas undang-undang hukum nasionalnya sudah lengkap, semua permasalahan hukum terjawab dalam Undang-Undang Nasionalnya dan hakim dalam memutuskan perkara  cukup menetapkan keputusannya berdasarkan Undang-Undang yang ada atau hakim berfungsi sebagai subsumtieautomaat atau terompet belaka.
E.     Perkembangan  Kodifikasi Hukum di Indonesia
Burgerlijk Wetboek Negara Belanda dibawa ke Indonesia yang pada waktu itu dinamakan Hindia Belanda sebagai jajahan Belanda. Sejak tanggal 1 Mei 1948 diberlakukan Burgerlijk Wetboek voor Nederlandsch-Indie bagi penduduk Hindia Belanda golongan Eropa. Lalu pada tahun 1917 dinyatakan berlaku bagi penduduk golongan Timur Asing golongan Cina, pada tahun 1924 bagi golongan Timur Asing lainnya, dan pada tahun 1938 penduduk asli hindia belanda golongan Bumi Putera.
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian yang berlaku mulai saat itu adalah Undang-undang Dasar 1945 dan tidak ada undang-undang lainnya, sehingga menyebabkan kekosongan hukum.
Selama masa kekosongan hukum diadakanlah hukum peralihan yang berwujud Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Segala badan kenegaraan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru”. Peraturan peralihan tersebut merupakan hukum transisi dari hukum Belanda yang akan tetap berlaku sampai ada penggantinya. Satu persatu hukum Belanda tersebut akan digantikan selama mengisi kemerdekaan. Sampai sekarang yang sudah ada penggantinya antara lain adalah :
a.       Undang-undang Pokok Agrarian ( UU No.5/1960)
b.      Undang-undang Merek (UU No.21/1967) diganti dengan UU No.19/1992
c.       Undang-undang Perkoperasian (UU No.12/1967) diganti dengan UU No.25/1992
d.      Dan sebagainya.[38]


F.     Perkembangan Kodifikasi Hukum di Eropa Barat
Kodifikasi hukum pertama di Eropa Barat adalah negara Perancis. Sebelumnya negara Perancis memberlakukan unifikasi hukum yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte yang intinya adalah hukum Germania disamping hukum Romawi. Code Civil yang disusun oleh Perancis, baru selesai tahun 1804 dan mulai diberlakukan pada tanggal 21 Maret 1804. Sejak tahun 1811-1838, Code Civil Perancis ini diberlakukan juga di negara Belanda, karena waktu itu negara Belanda berada dalam jajahan Perancis. Ketika Belanda lepas dari jajahan Perancis barulah Code Civil ditiru oleh pemerintah Belanda dalam pembuatan hukum perdata (BW). Code de Commerce Perancis pun dijadikan Kitab Hukum Dagang di Belanda dengan asas konkordansi. 
Di Negara Eropa Barat tersebutlah tercipatanya KUUH Perdata, KUUH Dagang, dan KUUH Pidana sebagai Undang-undang.
Pendukung pandangan tersebut antara lain :
1)      Dr. Frederich, dari Jerman yang mengatakan bahwa KUUH Jerman sudah sempurna, sehingga dapat memecahkan masalah hukum yang ada.
2)      Dr. Van Swinderen, dari Belanda yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nasional Belanda sudah mencakup segala sesuatu tentang hukum dan isinya cukup jelas.[39]

G.    Akibat dari Kemajuan Perkembangan Kodifikasi
           
          Akibat dari kemajuan perkembangan kodifikasi adalah munculnya aliran-alira hukum sebagai berikut:

1.             Aliran Freie Rechtslehre.
Ajaran ini timbul pada tahun  1840, karena Ajaran Legisme dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Aliran Legisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang dan di luar Undang- Undang tidak ada hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi.
Menurut paham Freie Rechtslehre atau hukum bebas menyatakan bahwa hukum tumbuh didalam  masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum alam ( kodrat) yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun yang merupakan adat istiadat.
Selanjutnya aliran Freie Rechtslehre, berkembang menjadi dua aliran yaitu:
a)             Aliran hukum bebas sosiologis, yang berpendapat bahwa hukum bebas itu adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis.
b)             Aliran hukum bebas natuurrechtelijk yang berpendapat bahwa hukum bebas adalah hukum alam.

2.             Aliran Rechtsvinding ( Penemuan hukum )
Aliran ini bertolak belakang dengan aliran hukum bebas, kalau aliran hukum bebas bertolak pada hukum di luar Undang- Undang, maka aliran Rechtsvinding mempergunakan Undang-Undang dan Hukum di luar undang-undang. Dalam pemutusan perkara mula-mula hakim berpegang pada Undang-Undang dan apabila ia tidak menemukan hukumnya, maka ia harus menciptakan hukum sendiri dengan berbagai cara seperti mengadakan interpretasi (penafsiran terhadap Undang- Undang) dan melakukan konstruksi hukum apabila ada kekosongan hukum.
Menurut aliran Rechtsvinding , hukum terbentuk dengan beberapa cara  :
a)        Karena Wetgeving ( pembentukan Undang-Undang )
b)        Karena administrasi ( tata usaha negara )
c)        Karena peradilan rechtsspraak atau peradilan
d)       Karena kebiasaan/ tradisi yang sudah mengikat masyarakat.
e)        Karena ilmu (wetenschap)

3.             Aliran Legisme
Aliran berpendapat bahwa :
1.      Satu-satunya aliran hukum adalah Undang-Undang
2.      Di Luar Undang-Undang tidak ada hukum
3.      Dalam aliran Legisme ini hakim hanya didasarkan pada Undang-Undang saja.
Aliran yang berlaku di Indonesia, Indonesia mempergunakan Rechtsvinding. Hal ini berarti bahwa hakim dalam memutuskan perkara berpegang pada Undang- Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat. Apabila ada perkara , hakim melakukan tindakan sebagai berikut :
1.  Ia menempatkan perkara dalam proporsi yang sebenarnya.
2.  Kemudian ia melihat pada Undang- Undang :
-    Apabila UU menyebutnya, maka perkara diadili menurut Undang-Undang.
-    Apabila UU kurang jelas, ia mengadakan penafsiran.
-    Apabila ada ruangan-ruangan kosong, hakim mengadakan konstruksi hukum, rechtsverfijning atau argumentum a contrario
Hakim juga melihat jurisprodensi, hukum Agama adat yang berlaku.[40]



BAB 3
PENUTUP

A.                KESIMPULAN
  1. Sebagai seorang mahasiswa yang mengerti dan sadar akan hukum, sudah seharusnyalah kita bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas (Agen Of Change) dalam menjalankan dan melaksanakan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang ada sehingga masyarakat luas akan sadar dan menjalankan hukum itu sendiri. Bukan malah menjadi yang pertama dalam melanggar hukum karena kita paham dan mengaerti hukum.
  2. Hukum bisa dibagi bermacam-macam berdasarkan sumbernya, bentuknya, tempat berlakunya, waktu berlakunya, cara mempertahankannya, sifatnya, wujudnya, dan isinya.
  3. Dalam menjalankan aktivitas kehidupan kita sehari-hari, sebagai seorang warganegara yang baik hendaklah kita mematuhi dan mentaati hukum yang berlaku baik itu hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis di dalam masyarakat.

B.                 SARAN
     Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun penulisan ini jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan tulisan ini. kami juga butuh kritik dan saran agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya. Kami juga mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing yang telah memberi tugas ,untuk kebaikan penulis sendiri, kelompok ,mapun untuk pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Asikin, zainal. 2013. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta.  Raja Wali Pers.
Ishaq, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum.Jakarta. Sinar Grafika.
Rumokoy, Donald Albert & Maramis, Frans. 2014. Pengantar Ilmu Hukum.    Jakarta. Rajawali Pers.





[1] Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.79.
[3]Hans Kelsen, General Theory of Norms, terjemahan Michael Hartney dari Allgemeine Theory der Normen. New york: Oxford University Press, 1991, hlm. xxi’ ”... that a legal system is a hierarchy of norms regulate the creation of flower-level norms.”dalam buku Donald Albert Rumokoy & Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum.cet. 1., hlm. 68.
[4] Donald Albert Rumokoy & Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) hlm. 69.
[6] Nur Khalif  Hazin, A.R. Elham, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Ilmu, tt), hlm. 406., dalam buku Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), cet. 1., hlm. 181.
[7] Ishaq, ibid.
[8] Lili Rasyidi, I.B. Wyasa Putra , Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 104., dalam buku Ishaq, ibid,
[9] Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm 115., dalam buku Ishaq, ibid,  hlm. 182
[10] Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Yoogyakarta: Libety, 199), hlm. 105., dalam buku Ishaq, ibid.
[11] Ishaq, ibid.
[12] Lili Rasjidi, I.B Wyasa Putra, op.cit., hlm. 103-104., dalam buku Ishaq, ibid.
[13] Lawrence M. Friedman,  Law And Society, an Introduction, (New Jersey: Printice Hall, 1997), hlm. 7., dalam buku Ishaq, ibid., hlm. 183
[14] Ishaq, ibid.
[15] Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Raja Grafinda Persada, 1993), hlm. 27., dalam buku Ishaq, ibid.
[16] Ishaq, ibid., hlm. 183-184.
[17] Fuller dalam Sajipto rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1979), hlm. 78., dalam buku  ishaq, ibid.
[18] Ibid, hlm. 80.
[19] Ibid, hlm. 81.
[20] Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law dan Socialist Law), (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 63., dalam buku Zainal Asikin,  hlm. 82.

[21] Asikin, op. cit., 80-82.
[22] Dalam website sistem hukum, http://sistem-hukum.blogspot.com/2014/10/macam-macam-sistem-hukum.html, di akses pada tanggal 1 november 2016.
[23] Dalam website sistem hukum, ibid.
[24] Zainal Asikin,op. Cit.,  hlm. 82.
[25] Cruz, op. Cit., dalam buku Zainal Asikin, ibid.
[26] Asikin , ibid
[27] H.R. Sardjono, Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Ind Hill Co, 1991), hlm.48
[29] Ishaq, op. Cit. hlm. 87
[31] R. Soeroso, op. Cit., hlm. 77., dalam buku Ishaq, op. Cit.. hlm. 88
[32] Pipin Syarifin, op. Cit., hlm. 225., dalam buku Ishak, ibid
[33] Surojo Wignjodipuro, op. Cit., hlm 47 dan 48., dalam buku Ishaq, ibid.
[34] Ishaq, ibid.
[35] Ishaq, ibid.
[36]Ishaq, ibid,. hlm. 89.
[39]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...