ASAS LEGALITAS BERDASARKAN WAKTU
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Untuk mempelajari Hukum Pidana, kiranya
akan lebih jelasnya apabila kita juga mempelajari ruang lingkup yang terdapat
pada Hukum pidana tersebut.Ruang lingkup ini berupa asas-asas yang sudah
melekat dalam ilmu pengetahuan tentang Hukum Pidana, karenadenganasas-asas yang adaitudapatmembuatsuatuhubungandansusunan
agar hukumpidana yang berlakudapat di pergunakansecarasistimatis,
kritisdanharmonis.
Secara garis besar asas-asas yang ada
dalam hukum pidana dibedakan berdasarkan ruang lingkup waktu berlakunya dan
tempat berlakunya (teritorial). Namun yang akan kami bahas tidak semua asas
tetapi hanya asas legalitas yang yang berdasarkan waktu berlangsungnya saja.
Dari pernyataan
diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih lanjut
tentang Asas Legalitas yang ada pada Hukum Pidana. Agar kita dapat memahami
bagaimana perkembangan proses Hukum Pidana yang ada Indonesia.
2.
Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji:
1. Apa
apa yang dimaksud dengan larangan analogi dalam asas legalitas?
2. Apa
hubungan antara asas non retroaktif dengan asas legalitas?
3. Mengapa
ada perubahan UUD mengenai asas legalitas?
3.
Tujuan
Setelah dilakukan penulisan makalah
ini maka yang diharapkan adalah:
1. Dapat
mengetahui pengertian larangan analogi dalam asas legalitas.
2. Dapat
mengetahui hubungan asas non retroaktif dengan asas legalitas.
3. Dapat
mengetahui alasan mengapa adanya perubahan UUD mengenai asas legalitas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asas Legalitas
Prinsip
berlakunya hukum pidana menurut waktu terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Prinsip
yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 mensyaratkan bahwa harus terlebih dahulu
adanya aturan tentang suatu perbuatan tertentu yang dilarang agar perbuatan itu
dapat dipidana, dan inilah yang dikenal
dengan asas legalitas. Asas ini telah berlaku mutlak bagi negara-negara
yang hukum pidanya telah dikodifikasi dalam suatu wetboek.[1]
Asas legalitas
atau yang dikenal denga asas nulla poena dalam
pasal 1 ayat 1 KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von
Feuerbach yang berbunyi: “nullum crimen
nulla poen, sine praevia lege poenali. (kadang-kadang kata “crimen” itu di
ganti dengan “delictum”) yang artinya kira-kira: tiada kejahatan/delik, tiada
pidana, kecuali jika sudah ada undang-undang sebelumnya yang mengancam dengan
pidana.[2]
Asas
legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum
pidana. Asas ini tersirat di dalam Pasal 1 KUHP yang di rumuskan demikian:
1. Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2. Jika
sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.[3]
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut secara
tegas ditunjuk perbuatan yang dapatberakibat pidana; tentu saja bukan perbuatan
yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu:
1. Perbuatan itu harus ditentukan oleh
perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapa dijatuhi
pidana.
2. Perundang-undangan pidana itu harus
sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
Dengan perkataan lain tidak boleh
terjadi suatu perbuatan yang semula belum di terapkan pelakunya bahwa pelakunya
dapat di pidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat merugikan, lalu
dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan peraturan tersebut,
walaupun perbuatannya telah lewat, atau boleh dikatakan bahwa
perundang-undangan pidanatidak boleh berlaku surut.[4]
Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip/asas
untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip/asas tersebut adalah :
1.
Asas legalitas formal, yang sudah
dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan,
bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan
hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat dipidana adalah
ketentuan dalam Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.
Asas legalitas material, prinsip ini
tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh
oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan
hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat.[5]
Asas legalitas memiliki tujuan dalam
penciptaannya yakni:
1.
Menegakan
kepastian hukum
2.
Mencegah
kesewenang-wenangan pengausa.
Terdapat beberapa pengertian didalam asas legalitas, yaitu:
1.
Tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
2.
Tidak
ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
3.
Tidak
dapat di pidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4.
Tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
5.
Tidak
ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
6.
Tidak
ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7.
Penentuan
pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.[6]
Moeljatno
menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian:
1)
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam
suatu aturan undang-undang.
2)
Untuk menetukan adanya perbuatan pidana
tidak boleh di gunakan analogi (kiyas).
3)
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku
surut.[7]
Lebih
lanjut Cleirn & Nijboer, mengatakan hukum pidana itu adalah hukum tertulis.
Tidak ada seorang pun dapat di pidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum
kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti:
1) Tidak
ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet)
2) Tidak
ada hukum kebiasaan (lex Scripta)
3) Tidak
ada analogi (penafsiran ekstentif, dia hanya menerima penafsiran teologis).[8]
Contoh penggunaan asas legalitas :
pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber crime”
yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang tentang “cyber
crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak bisa diadili atau
dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan
Informasi M Nuh sebagai wakil pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi
sikap DPR yang menyetujui RUU ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang.
Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah transaksi elektronik baik
yang dilakukan dalam transaksi perbankan ataupun komunikasi. Selain itu, dalam
UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan situs-situs porno. Termasuk
menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan
memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.
Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex
temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus
diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. [9]
Dari sekian ilmuan hukum
yang membahas tentang asas legalitas, mereka menyebutkan di setiap poin
pemikirannya yaitu salah satunya “tidak boleh di gunakan analogi”. Mengapa
demikian? Sebenarnya apa kaitan antara asas legalitas dengan larangan analogi?
Mari kita bahas pada subbab selanjutnya yang ada pada makalah ini.
B. Larangan Analogi
Analogi merupakan suatu cara penafsiran yang bernada memperluas arti dari
suatu peraturan hukum (extensieve interpretative). Dalam asas legalitas suatu
analogi itu dianggap sesuatu yang di luar dari peraturan asas legalitas. Suatu
analogi dilarang dalam asas legalitas seperti dalam poin-poin yang sudah kita
bahas sebelumnya. Hal ini dilarang karena memiliki alasan bahwa analogi
merupakan suatu penafsiran yang dapat merubah suatu keadaan, karena hasil dari
logika. Misal suatu keadaan yang semula
dari A kemudian menjadi keadaan yang B.
Penerapan suatu aturan hukum dengan cara menggunakan logika ini sama saja yaitu
mengambil dari inti suatu peraturan untuk di terapkan terhadap perbuatan yang sebenarnya
belum ada aturannya. Padahal pada Pasal 1 ayat (1) KUHP
menjelaskan bahwa harus adanya aturan yang mendasari suatu tindak pidana.[10]
Contoh hal yang pernah terjadi dalam praktik penegakkan hukum Indonesia
adalah putusan hakim bismar siregar yang menyamakan persetubuhan bujang dengan
gadis sebagai “pencurian”. Bismar siregar menganggap kegadisan sama dengan
barang, sebagaimana dalam KUHP pasal 378
yaitu: “Barang
siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk
menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun".[11]
Putusan ini banyak dikecam oleh hakim dan pengamat hukum ketikaitu. Inilah
mengapa analogi dilarang karena yang ditakutkan adalah
analogi dapat menegenyampingkan pemaknaan asas legalitas tersebut. Itulah
alasan adanya larangan analogi adalam asas legalitas.
C. Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif ini merupakan asas
turunan dari asas legalitas.Tujuan dari asas ini ialah jangan sampai seseorang
melakukan suatu perbuatan pidana lalu karena orang tersebut tidak disukai
maka undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu tak dapat dipidana. Oleh
karena itu secara tegas larangan berlaku surut juga dimuat dalam deklarasi
universal hak asasi manusia, namun dalam perkembangannya asas berlaku surut
dapat dilanggar dalam hukum pidana khusus seperti undang-undang terorisme dan
undang-undang peradilan HAM, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sepanjang HAM
yang dilindungi jauh lebih besar.[12]
Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu
suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum atau
peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara
itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata lain,
peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada dan berlaku lebih
dulu, barulah kemudian ditetapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi
setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam arti negatif,
peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap
perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan
perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan
tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang dikenal dengan asas non
retroaktif.[13]
D. Perubahan Perundang-undangan
Di
dalam sejarah ketatatangeraan kita, ketentuan semacam asas legalitas pernah
masuk dalam konstitusi kita, yaitu pada pasal 14 ayat 2 UUDS 1950 yang
merumuskan: “tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau atau
dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang ada dan berlaku
terhadapnya.” Secara yuridis formal kedudukan ketentuan yang demikian itu,
yaitu layaknya asas legalitas, lebih kuat daripada UUDS 1950. Karena jika
hendak mengubah harus menguabah
konstitusi. Sedangkan secara teoretis pasal 1 ayat 1 KUHP yang sering disebut
sebagai pencerminan asas legalitas itu dapat
disimpangi atau diubah cukup degan
memuat undang-undang baru yang berbeda.[14]
Mengenai adanya perubahan Undang-Undang yang
berkaitan dengan asas legalitas adalah bahwa asas legalitas itu sendiri menampakan bahwa segala perbuatan yang
diancam dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum atau undang-undang yang
sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-undang yang akan dibuat
sesudah perbuatan itu terjadi. Sama saja disini berlaku asas lex temporis delicti. Ini termasuk dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Tetapi kita tahu bahwa undang-undang itu tidak
langgeng, pasti akan mengalami amandemen-amandemen sesuai dengan perkembangan
kebutuhan zaman yang mengiringinya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
jika sebelum seorang yang melakukan perbuatan terlarang itu diadili,
undang-undangnya diubah atau dicabut?Undang-undang mana yang harus di terapkan?
Untuk ini pasal 1 ayat 2 KUHP menjawab dengan
rumusan tersebut diatas yaitu jika ada perubahan undang-undang, maka yang
dipakai adalah yang ringan bagi terdakwa. Jadi sama saja pasal 1 ayat 2 KUHP
merupakan penyimpangan dari asas lex
tempories delicti.
Disini perubahan undang-undang dipakai sebagai
perumpamaan saja apabila terjadi perubahan undang-undangnya maka apa yang harus
dilakukan? Yaitu dengan cara mengambil hukuman yang paling ringan bagi para
pelaku terpidana.[15]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas tentang asas legalitas serta larangan analogi, asas non
retroaktif dan perubahan perundang-undangan. Maka kelompok kami dapat
menyimpulkan bahwa suatu asas legalitas adalah suatu alat untuk menegakan
ketegasan dari suatu hukum agar terhindar dari kesewenag-wenangan para
penguasa. Sehingga tidak ada lagi tindakan pidana terhadap orang yang melakukan
kesalahan namun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Tetapi asas ini tidak
akan berjalan dengan semestinya apabila di dalam dunia hukum masih menggunakan
analogi. Dimana yang kita tahu bahwa analogi itu adalah hukum yang berasal dari
kiyasan logika terhadap suatu pasal tertentu untuk
menjatuhkan seorang terdakwa ke dalam ranah sanksi hukuman.
Masalah lain, asas
legaliatas ini memiliki lawan pengertian tentang pemaknaan dimana asas
legalitas yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP di hadapkan dengan pasal 1
ayat 2 KUHP. Sehingga munculah sebuatan untuk kasus ini sebagai hasil turunan
dari asas legalitas yaitu asas non-retroaktif (lawan dari asas retroaktif). Dimana
asas ini menanggapi tentang perubahan undang-undang, yang menganggap bahwa undang–undang
tidak boleh berlaku surut. Yang artinya seandainya
seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap
tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas
ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan
sewenang-wenang dari penguasa.
1.
Saran
Dari
pembahasan makalah kami, kami memiliki saran untuk para lembaga legislatif dan
yudikatif agar lebih tegas lagi dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berkaitan dengan undang-undang agar tidak ada lagi kesewenang-wenangan terhadap
warga negara. Supaya tercipatanya keadilan di dalam suatu negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Chazawi,
Adami. 2013. Pelajaran Hukum Pidana 1.
Jakarta: rajawali Pers.
Prasetyo,
Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali
Pers.
https://katawijaya.wordpress.com/2014/12/04/larangan-analogi/.
Diakses pada tanggal 10 maret 2017.
http://dzuriatu-assahar.blogspot.co.id/2013/05/hukum-pidana-menurut-waktu-dan-tempat.html.
diakses pada tanggal 10 maret 2017.
http://pramana-recht.blogspot.co.id/2012/01/sekilas-tentang-asas-legalitas.html.
Diakses pada tanggal 10 maret 2017.
http://asianinfinity.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-asas-legalitas-dan-asas-non.html
. Diakses pada tanggal 11 maret 2017.
http://rechtslaw.blogspot.co.id/2012/02/asas-asas-hukum-pidana-yang-bersumber.html.
diakses pada tanggal 11 maret 2017.
[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta:
rajawali Pers, 2013), hlm. 169-170.
[2]Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 37-41,
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]http://pramana-recht.blogspot.co.id/2012/01/sekilas-tentang-asas-legalitas.html.
diakses pada tanggal 10 maret 2017.
[7]Morljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, 1987. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm,
40.
[8]Cleirn & Nijboer, Red. Strafrecht, Tekst & Commentaar,
1997. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm, 41.
[9]http://dzuriatu-assahar.blogspot.co.id/2013/05/hukum-pidana-menurut-waktu-dan-tempat.html. diakses pada tanggal 10 maret
2017.
[10]https://katawijaya.wordpress.com/2014/12/04/larangan-analogi/. Diakses pada tanggal 10 maret
2017.
[11]http://rechtslaw.blogspot.co.id/2012/02/asas-asas-hukum-pidana-yang-bersumber.html.
diakses pada tanggal 11 maret 2017.
[13]I
Wayan Parthiana, hukum Pidana
Internasional, Bandung, 2006. dalam artikel, http://asianinfinity.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-asas-legalitas-dan-asas-non.html.
diakses pada tanggal 11 maret 2017.
[14]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 38.
[15]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 40.