Kamis, 16 Maret 2017

Makalah Hukum Pidana tentang ASAS LEGALITAS

ASAS LEGALITAS BERDASARKAN WAKTU




BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Untuk mempelajari Hukum Pidana, kiranya akan lebih jelasnya apabila kita juga mempelajari ruang lingkup yang terdapat pada Hukum pidana tersebut.Ruang lingkup ini berupa asas-asas yang sudah melekat dalam ilmu pengetahuan tentang Hukum Pidana, karenadenganasas-asas yang adaitudapatmembuatsuatuhubungandansusunan agar hukumpidana yang berlakudapat di pergunakansecarasistimatis, kritisdanharmonis.
Secara garis besar asas-asas yang ada dalam hukum pidana dibedakan berdasarkan ruang lingkup waktu berlakunya dan tempat berlakunya (teritorial). Namun yang akan kami bahas tidak semua asas tetapi hanya asas legalitas yang yang berdasarkan waktu berlangsungnya saja.
Dari pernyataan diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih lanjut tentang Asas Legalitas yang ada pada Hukum Pidana. Agar kita dapat memahami bagaimana perkembangan proses Hukum Pidana yang ada Indonesia.

2.    Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji:
1.      Apa apa yang dimaksud dengan larangan analogi dalam asas legalitas?
2.      Apa hubungan antara asas non retroaktif dengan asas legalitas?
3.      Mengapa ada perubahan UUD mengenai asas legalitas?

3.    Tujuan
Setelah dilakukan penulisan makalah ini maka yang diharapkan adalah:
1.      Dapat mengetahui pengertian larangan analogi dalam asas legalitas.
2.      Dapat mengetahui hubungan asas non retroaktif dengan asas legalitas.
3.      Dapat mengetahui alasan mengapa adanya perubahan UUD mengenai asas legalitas.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Asas Legalitas
Prinsip berlakunya hukum pidana menurut waktu terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Prinsip yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1  mensyaratkan bahwa harus terlebih dahulu adanya aturan tentang suatu perbuatan tertentu yang dilarang agar perbuatan itu dapat dipidana, dan inilah yang dikenal  dengan asas legalitas. Asas ini telah berlaku mutlak bagi negara-negara yang hukum pidanya telah dikodifikasi dalam suatu wetboek.[1]
Asas legalitas atau yang dikenal denga asas nulla poena dalam pasal 1 ayat 1 KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von Feuerbach yang berbunyi: “nullum crimen nulla poen, sine praevia lege poenali. (kadang-kadang kata “crimen” itu di ganti dengan “delictum”) yang artinya kira-kira: tiada kejahatan/delik, tiada pidana, kecuali jika sudah ada undang-undang sebelumnya yang mengancam dengan pidana.[2]
Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat di dalam Pasal 1 KUHP yang di rumuskan demikian:
1.    Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2.    Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.[3]

Berdasarkan  rumusan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan yang dapatberakibat pidana; tentu saja bukan perbuatan yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu:
1.      Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapa dijatuhi pidana.
2.      Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Dengan perkataan lain tidak boleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum di terapkan pelakunya bahwa pelakunya dapat di pidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan peraturan tersebut, walaupun perbuatannya telah lewat, atau boleh dikatakan bahwa perundang-undangan pidanatidak boleh berlaku surut.[4]
Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip/asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip/asas tersebut adalah :
1.        Asas legalitas formal, yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat dipidana adalah ketentuan dalam Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.        Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat.[5]

Asas legalitas memiliki tujuan dalam penciptaannya yakni:
1.        Menegakan kepastian hukum
2.        Mencegah kesewenang-wenangan pengausa.

Terdapat beberapa pengertian didalam asas legalitas, yaitu:
1.        Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
2.        Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
3.        Tidak dapat di pidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4.        Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
5.        Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
6.        Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7.        Penentuan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.[6]

Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian:
1)        Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2)        Untuk menetukan adanya perbuatan pidana tidak boleh di gunakan analogi (kiyas).
3)        Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[7]

Lebih lanjut Cleirn & Nijboer, mengatakan hukum pidana itu adalah hukum tertulis. Tidak ada seorang pun dapat di pidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti:
1)   Tidak ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet)
2)   Tidak ada hukum kebiasaan (lex Scripta)
3)   Tidak ada analogi (penafsiran ekstentif, dia hanya menerima penafsiran teologis).[8]

Contoh  penggunaan asas legalitas :
pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber crime” yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang tentang “cyber crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak bisa diadili atau dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh sebagai wakil pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi sikap DPR yang menyetujui RUU ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang.
Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah transaksi elektronik baik yang dilakukan dalam transaksi perbankan ataupun komunikasi. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan situs-situs porno. Termasuk menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.
Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. [9]
Dari sekian ilmuan hukum yang membahas tentang asas legalitas, mereka menyebutkan di setiap poin pemikirannya yaitu salah satunya “tidak boleh di gunakan analogi”. Mengapa demikian? Sebenarnya apa kaitan antara asas legalitas dengan larangan analogi? Mari kita bahas pada subbab selanjutnya yang ada pada makalah ini.


B.  Larangan Analogi
Analogi merupakan suatu cara penafsiran yang bernada memperluas arti dari suatu peraturan hukum (extensieve interpretative). Dalam asas legalitas suatu analogi itu dianggap sesuatu yang di luar dari peraturan asas legalitas. Suatu analogi dilarang dalam asas legalitas seperti dalam poin-poin yang sudah kita bahas sebelumnya. Hal ini dilarang karena memiliki alasan bahwa analogi merupakan suatu penafsiran yang dapat merubah suatu keadaan, karena hasil dari logika.  Misal suatu keadaan yang semula dari A kemudian menjadi keadaan yang B.
Penerapan suatu aturan hukum dengan cara menggunakan logika ini sama saja yaitu mengambil dari inti suatu peraturan untuk di terapkan terhadap perbuatan yang sebenarnya belum ada aturannya. Padahal pada Pasal 1 ayat (1) KUHP menjelaskan bahwa harus adanya aturan yang mendasari suatu tindak pidana.[10]
Contoh hal yang pernah terjadi dalam praktik penegakkan hukum Indonesia adalah putusan hakim bismar siregar yang menyamakan persetubuhan bujang dengan gadis sebagai “pencurian”. Bismar siregar menganggap kegadisan sama dengan barang, sebagaimana dalam KUHP  pasal 378 yaitu: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun".[11]
Putusan ini banyak dikecam oleh hakim dan pengamat hukum ketikaitu. Inilah mengapa analogi dilarang karena yang ditakutkan adalah analogi dapat menegenyampingkan pemaknaan asas legalitas tersebut. Itulah alasan adanya larangan analogi adalam asas legalitas.


C.  Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif ini merupakan asas turunan dari asas legalitas.Tujuan dari asas ini ialah jangan sampai seseorang melakukan suatu perbuatan pidana lalu  karena orang tersebut tidak disukai maka undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu tak dapat dipidana. Oleh karena itu secara tegas larangan berlaku surut juga dimuat dalam deklarasi universal hak asasi manusia, namun dalam perkembangannya asas berlaku surut dapat dilanggar dalam hukum pidana khusus seperti undang-undang terorisme dan undang-undang peradilan HAM, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sepanjang HAM yang dilindungi jauh lebih besar.[12]
Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada dan berlaku lebih dulu, barulah kemudian ditetapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam arti negatif, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang dikenal dengan asas non retroaktif.[13]


D.  Perubahan Perundang-undangan
Di dalam sejarah ketatatangeraan kita, ketentuan semacam asas legalitas pernah masuk dalam konstitusi kita, yaitu pada pasal 14 ayat 2 UUDS 1950 yang merumuskan: “tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang ada dan berlaku terhadapnya.” Secara yuridis formal kedudukan ketentuan yang demikian itu, yaitu layaknya asas legalitas, lebih kuat daripada UUDS 1950. Karena jika hendak  mengubah harus menguabah konstitusi. Sedangkan secara teoretis pasal 1 ayat 1 KUHP yang sering disebut sebagai pencerminan asas legalitas itu dapat
disimpangi atau diubah cukup degan memuat undang-undang baru yang berbeda.[14]
Mengenai adanya perubahan Undang-Undang yang berkaitan dengan asas legalitas adalah bahwa asas legalitas itu sendiri  menampakan bahwa segala perbuatan yang diancam dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum atau undang-undang yang sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-undang yang akan dibuat sesudah perbuatan itu terjadi. Sama saja disini berlaku asas lex temporis delicti. Ini termasuk dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Tetapi kita tahu bahwa undang-undang itu tidak langgeng, pasti akan mengalami amandemen-amandemen sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman yang mengiringinya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika sebelum seorang yang melakukan perbuatan terlarang itu diadili, undang-undangnya diubah atau dicabut?Undang-undang mana yang harus di terapkan?
Untuk ini pasal 1 ayat 2 KUHP menjawab dengan rumusan tersebut diatas yaitu jika ada perubahan undang-undang, maka yang dipakai adalah yang ringan bagi terdakwa. Jadi sama saja pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan penyimpangan dari asas lex tempories delicti.
Disini perubahan undang-undang dipakai sebagai perumpamaan saja apabila terjadi perubahan undang-undangnya maka apa yang harus dilakukan? Yaitu dengan cara mengambil hukuman yang paling ringan bagi para pelaku terpidana.[15]




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas tentang asas legalitas serta larangan analogi, asas non retroaktif dan perubahan perundang-undangan. Maka kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa suatu asas legalitas adalah suatu alat untuk menegakan ketegasan dari suatu hukum agar terhindar dari kesewenag-wenangan para penguasa. Sehingga tidak ada lagi tindakan pidana terhadap orang yang melakukan kesalahan namun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Tetapi asas ini tidak akan berjalan dengan semestinya apabila di dalam dunia hukum masih menggunakan analogi. Dimana yang kita tahu bahwa analogi itu adalah hukum yang berasal dari kiyasan logika terhadap suatu pasal tertentu untuk menjatuhkan seorang terdakwa ke dalam ranah sanksi hukuman.
Masalah lain, asas legaliatas ini memiliki lawan pengertian tentang pemaknaan dimana asas legalitas yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP di hadapkan dengan pasal 1 ayat 2 KUHP. Sehingga munculah sebuatan untuk kasus ini sebagai hasil turunan dari asas legalitas yaitu asas non-retroaktif (lawan dari asas retroaktif). Dimana asas ini menanggapi tentang perubahan undang-undang, yang menganggap bahwa undang–undang tidak boleh berlaku surut. Yang artinya seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

1.    Saran
Dari pembahasan makalah kami, kami memiliki saran untuk para lembaga legislatif dan yudikatif agar lebih tegas lagi dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan undang-undang agar tidak ada lagi kesewenang-wenangan terhadap warga negara. Supaya tercipatanya keadilan di dalam suatu negara.

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2013. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: rajawali Pers.

Prasetyo, Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.










[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: rajawali Pers, 2013), hlm. 169-170.
[2]Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 37-41,
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[6]Ibid, hlm. 42.
[7]Morljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, 1987. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm, 40.
[8]Cleirn & Nijboer, Red. Strafrecht, Tekst & Commentaar, 1997. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm, 41.
[13]I Wayan Parthiana, hukum Pidana Internasional, Bandung, 2006. dalam artikel, http://asianinfinity.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-asas-legalitas-dan-asas-non.html. diakses pada tanggal 11 maret 2017.
[14]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 38.
[15]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 40.

Minggu, 05 Maret 2017

Makalah Hukum Tata Negara tentang SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Untuk mempelajari Hukum Tatanegara suatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh kejelasannya apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraan daripada Negaranya yang bersangkutan.  Demikian pula dengan Hukum Tatanegara kita, akan mudah diperoleh kejelasannya apabila kita mempelajari terlebih dahulu sejarah ketatanegaraannya sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan ketatanegaraannya. Apalagi kalau mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan kita, yang masih menyelesaikan revolusinya, ternyata penuh mengalami pasang surut sesuai dengan dinamikanya revolusi Bangsa Indonesia, sehingga mempelajari sejarah ketatanegaraannya.
Setiap negara tentunya memiliki sejarah tentang ketatanegaraan dalam negaranya. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
Dari pernyataan diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih lanjut tentang sejarah dari ketatanegaraan Indonesia. Agar kita dapat memahami bagaimana perkembangan proses ketatanegaraan di Indonesia dari periode-periode yang ada.

B.  Rumusan Masalah
1.      Mengetahui ketatanegaraan Periode Sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
2.      Mengetahui ketatanegaraanPeriode Setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
3.      Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan  di Bawah Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia  (Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
4.      Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde baru
5. Mengetahui ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Setelah reformasi 1998:Menuju Konsolidasi sistem Demokrasi



BAB II
PEMBAHASAN

1.        Periode Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
a.    Masa Penjajahan Belanda
Indonesia pada masa ini kekuasaan tertingginya ada di tangan Raja Hindia Belanda. Dan dibantu oleh Gubernur Jendral sebagai pelaksana. Raja Belanda bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukan sitem pemerintahan  yang dipergunakan di negeri Belanda adalah sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan kerajaan Belanda 1983 adalah:
a.    UUD Kearajaan Belanda 1983
1.         Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda;
2.         Pasal 62: Ratu Belanda memegang pemerintahan tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan Gubernur Jendral atas nama Ratu Belanda  mejalankan Pemerintahan Umum;
3.         Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Undang-Undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-undang.
b.    Indische Staatsregeling  (IS)
IS merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan disebut Algemene Verordeningen (Pearaturan Umum), yang dikenal dimasa berlakunya IS, adalah:
1.         Wet: dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang Negeri Belanda, yaitu mahkota dan Parlemen;
2.         Algemene Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh mahkota sendiri;
3.         Ordonnantie, dibentuk oleh Gubernur Jendral bersama-sama  dengan Volksraad;
4.         Reggering Verordeningen (RV), peraturan yang dibentuk oleh Gubernur Jendral sendiri.[1]
Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya.

b.   Masa Pendudukan Bala Tentara Jepang.
Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :
a.    Sebagai penguasa pendudukan. Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
b. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada dikawasan asia timur raya termasuk Indonesia denga menyebut dirinya sebagai Saudara tua.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
a).   Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
b).   Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
c).   Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan.[2]

2.        Periode setelah proklamasi 17 Agustus 1945
a.    Pasca pemberlakuan UUD 1945 sejak 18 Agustus 1945
Sehari setelah proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh PPKI, pada saat itu dimulailah babak baru penyelenggaraan ketatanegaraan. Dengan adanya usaha-usaha sebagai berikut:
1.    Menetapkan UUD Negara Republik Indonesia
2.    Penetapan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI
3.    Pembentukan Dapartemen-dapatemen oleh Presiden
4.    Pengangkatan anggota KNIP
5.    Pembentukan delapan provinsi oleh PPKI.
Proklamasi terus mengalami kemajuan, pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil Presiden menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 yang berisi:
1.    KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) diserahi kekuasaan legislatif dan ikut membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara sebelum terbentuknya MPR dan DPR
2.    Pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja KNIP.[5]
3.    KNIP bersama-sama Presiden menetapkan Undang-Undang yang boleh mengenai segala urusan pemerintah.[6]
.     

b.      Ketatanegaraan di Bawah Konstitusi Indonesia Serikat
Terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, Dalam konfrensi tersebut disepakati tiga hal yaitu:
1.      Mendirikan Negara RIS
2.      Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal yaitu: (a) piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintahan RIS, (b) status uni, (c) persetujuan perpindahan.
3.      Mendirikan uni antara RIS dan kerajaan Belanda[7]
Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang tujuan  utamanya mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
c.       Ketatanegaraan di Bawah Undang Undang Dasar Sementara 1950
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950, tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat, menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru. Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul 17. 00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. [8]

3.    Ketatanegaraan dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Dekrit presiden 5 Juli 1959).
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah beberapa langkah sebagai berikut:
1.      Pembaharuan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan presiden No.3 Tahun 1960.
2.      Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan penetapan presiden No.5 Tahun 1960 yang antara lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatanny terhitung mulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden.
3.      Untuk melaksanakan dekrit presiden oleh presiden dikeluarkan penetapan presiden No.2 Tahun 1959 : tentang majelis permusyawaratan rakyat sementara dan dilanjutkan dengan
4.      Penyusunan majelis permusyawaratan rakyat sementara dengan penetapan presiden No.12 Tahun 1960.
5.      Dikeluarkan penetapan presiden No.3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangang sementata.
Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi,seperti :
1.    lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR dan DPA belum dibentuk berdasarkan Undang-undang serta lembaga-lembaha yang ada masih bersifat sementata.
2.    Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963.
Sejarah ketatanegaraan indonesia mencatat bahwa penyimpangan konstitusi ini mencapai puncaknya dibidang politik dengan terjadinya pemberontakan G30 S PKI. Peristiwa G 30 S PKI telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan indonesia. Puncak pada peristiwa ini adalah jatuhnya Legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang tampak kepemimpinan nasional. legitimasi tersebut semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat pemerintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan segala tindakan dalam menjamin keamanan dan ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintah. Keberadaan SUPERSEMAR itu sendiri sampai sekarang masih tetap misterius, bahkan penerbitan SUPERSEMAR itu sendiri kemunculannya dari kontroversi sejarah yang berbeda-beda
4.        Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde Baru.
Di era ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan negara menitik beratkan pada aspek stabilitas politik. Dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Maka dilakukanlah upaya-upaya pembenahan system ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan pada hal-hal sebagai berikut:
a.  Konsep Dwi Fungsi ABRI
b.  Pengutamaan Golongan Karya
c.  Magnifikasi kekuasaan di tangan ekskutif.
d.  Diteruskannya system pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
e.  Kebijakan depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang (floating mass);dan
f. Kontrol Abriter atas kehidupan pers.
Disamping itu juga disarankan oleh Presiden Soeharto agar partai-partai mempergunakan asas Pancasila dan UUD 19945  . Berdasarkan gagasan inilah,maka disarankan pembentukan dua kelompok, yaitu :
a. Kelompok materiil-sprituil yang terdiri atas partai—partai yang menekankan pembangunan matteriil tanpa mengabaikan aspek sprituil . Kelompokk ini terdiri dari PNI,Murba,IPKI,partai katolik , Parkindo.
b. kelompok sprituil materiil yang terdiri dari  partai-partai yang menekankan pembangunan.
Disamping kedua kelompok partai tersebut ternayata terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu kelompok partai tersebut. Golongan –golongan fungsional ini akhirnya membentuk kelompok sendiri yang disebut GOLKAR (GOLONGAN KARYA ). Kondisi semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena ketatanegaraan di Indonesia,yaitu:
1.  Sistem Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada stabilitas politik dan memang berhasil.
2.  Terjadinya pemasungan hak-hak politik bagi warganegara,khususnya dalam hal berserikat atau berkumpul karena adanya pembatasan partai politik dan pengawasan terhadap seluruh organisasi kemasyarakatan seluruh organisasi kemasyrakatan ,termasuk pengawasan terhadap Media massa.
3.  Terpilihnya Suharto sebagai presiden yang berulang kali mengakibatkan karakter kepemimpinan makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya gejala Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela.


5.        Ketatanegaraan Indonesia Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi.
Dengan tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah penataan sistem ketatanegaraan menuju konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling penting disini tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang gerak bagi kehidupan demokrasi dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Peraturan  Perundang-undangan yang dimaksud antara lain:
Ketetetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Reperendum;
Undang-Undang No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum;
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di daerah;
Paket Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR, DPR, DPRD,UU Pemilihan Umum, dan UU Politik dan Golongan Karya).

Di samping melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut diatas maka sesuai amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk mengamanden UUD 1945. Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat utama bagi terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat sistematika yang tertuang didalam UUD 1945 tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengembangkan konsep demokrasi pemerintahan dan prinsip Negara yang berkedaulatan rakyat.
Dengan rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR menggunakan dasar hukum pasal 37 UUD 1945. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu 1999 sampai dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR melakukan pengesahan terhadap hasil-hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak 4 kali, yakni setiap MPR melakukan sidang tahunan pada bulan Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Setelah amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada sidang tahunan MPR Tahun 2000 maka sistem ketatanegaraan Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bentuk (bangunan) Negara kesatuan tetap dipertahankan dan sudah merupakan keputusan yang final;
Sistem pemerintahan Negara republik Indonesia adalah sistem presidensiil murni, dimana presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% kursi di DPR-RI atau 25% memperoleh suara sah dalam pemilu legislatif
Sistem keparlemenan mempergunakan soft bicameral system, bahkan bisa dianggap sistem keparlemenan dengan 3 kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing mempunyai ketua;
Seluruh anggota parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui pemilihan umum. Tidak dikenal lagi adanya cara penunjukan atau pengangkatan;
 Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi mernjadi lembaga tertinggi Negara melainkan hanya merupakan sarana bergabungnya DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini hanya mengubah UUD, mengangkat atau melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum, memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden jika menurut keputusan mahkamah konstitusi dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat;
Sistematika UUD 1945 hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal;
hubungan alat perlengkapan Negara dalam garis vertikal mempergunakan asas desentralisasi dan tugas pembantuan dengan otonomi luas;
Dijumpai adanya mahkamah konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial review undang-undang terhadap UUD 1945 penyelesaian sengketa pemilihan umum, memeriksa presiden dan/atau wakil presiden atas pemerintahan DPR, jika mereka dianggap telah melakukan pelanggaran dihukum berat, dan menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga Negara.

Dari gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat ditarik garis pemahaman bahwa sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi terus dilakukan dengan berbagai pasang surut yang terkandung didalamnya. Hal ini membuktikan bahwa konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia masih terus mencari bentuk yang paling ideal dan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Proses konsolidasi sIstem demokrasi yang terus berlanjut ini memang memberikan kesan kuat bahwa langkah-langkah eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus dilakukan. Hal ini wajar, karena membangun sistem, demokrasi tidak akan pernah selesai. Mengingat demokrasi itu sendiri bukanlah suatu tujuan melainkan merupakan hanya sarana untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan bangsa Indonesia sebaimana terangkum dalam pembukaan UUD 1945.


  

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Sejarah ketatanegaraan Indonesia sudah terjadi sejak masa pra Proklamasi kemerdekaan yang dimana ada beberapa perubahan sistem ketatanegaraan. Pada masa penjajahan sistem ketatanegaran Indonesia masih diperlakukan oleh kekuasaan para penjajah. Pada masa pasca Proklamasi Indonesia sudah mulai membenah dalam sistem ketatanegaraan yang buktinya telah terjadi beberapa sitem ketatanegaraan yang telah ditetapkan seperti pemberlakuan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, Konstitusi Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Negara Sementara Tahun 1950, Sistem ketatanegaraan Orde Baru, dan yang terbaru setelah Reformasi menuju Konsolidasi sistem Demokrasi.

B.       Saran
Dalam sistem ketatanegaran seharusnya pemerintahan Indonesia lebih memiliki sifat transparan, dimana setiap permasalahan yang ada selalu bisa diikuti perkembangannya oleh masyarakat. Dan masyarakat lebih tau tentang kinerja birokrasi ketatanegaraan Indonesia.

    


DAFTAR PUSTAKA

Handoyo, Hestu Cipto. 2015,  Hukum Tata Negara Indonesia, Cahaya atma Pustaka: Yogyakarta.
Huda Ni’kmatul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014)cet.IX
Radjab Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005)cet.II






[1]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo,  Hukum Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[2]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[3]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo,  Hukum Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[4]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[5] Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2015)cet.II hlm 77
[6] Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005)cet.II hlm.188
[7] Ni’kmatul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014)cet.IX hlm. 133
[8] www.zonanesia.net/2014/10/periodesasi-sistem-pemerintahan.atml

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...