Kamis, 16 Maret 2017

Makalah Hukum Pidana tentang ASAS LEGALITAS

ASAS LEGALITAS BERDASARKAN WAKTU




BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Untuk mempelajari Hukum Pidana, kiranya akan lebih jelasnya apabila kita juga mempelajari ruang lingkup yang terdapat pada Hukum pidana tersebut.Ruang lingkup ini berupa asas-asas yang sudah melekat dalam ilmu pengetahuan tentang Hukum Pidana, karenadenganasas-asas yang adaitudapatmembuatsuatuhubungandansusunan agar hukumpidana yang berlakudapat di pergunakansecarasistimatis, kritisdanharmonis.
Secara garis besar asas-asas yang ada dalam hukum pidana dibedakan berdasarkan ruang lingkup waktu berlakunya dan tempat berlakunya (teritorial). Namun yang akan kami bahas tidak semua asas tetapi hanya asas legalitas yang yang berdasarkan waktu berlangsungnya saja.
Dari pernyataan diatas inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih lanjut tentang Asas Legalitas yang ada pada Hukum Pidana. Agar kita dapat memahami bagaimana perkembangan proses Hukum Pidana yang ada Indonesia.

2.    Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji:
1.      Apa apa yang dimaksud dengan larangan analogi dalam asas legalitas?
2.      Apa hubungan antara asas non retroaktif dengan asas legalitas?
3.      Mengapa ada perubahan UUD mengenai asas legalitas?

3.    Tujuan
Setelah dilakukan penulisan makalah ini maka yang diharapkan adalah:
1.      Dapat mengetahui pengertian larangan analogi dalam asas legalitas.
2.      Dapat mengetahui hubungan asas non retroaktif dengan asas legalitas.
3.      Dapat mengetahui alasan mengapa adanya perubahan UUD mengenai asas legalitas.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Asas Legalitas
Prinsip berlakunya hukum pidana menurut waktu terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Prinsip yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1  mensyaratkan bahwa harus terlebih dahulu adanya aturan tentang suatu perbuatan tertentu yang dilarang agar perbuatan itu dapat dipidana, dan inilah yang dikenal  dengan asas legalitas. Asas ini telah berlaku mutlak bagi negara-negara yang hukum pidanya telah dikodifikasi dalam suatu wetboek.[1]
Asas legalitas atau yang dikenal denga asas nulla poena dalam pasal 1 ayat 1 KUHP itu berasal dari rumusan bahasa latin oleh Anselm von Feuerbach yang berbunyi: “nullum crimen nulla poen, sine praevia lege poenali. (kadang-kadang kata “crimen” itu di ganti dengan “delictum”) yang artinya kira-kira: tiada kejahatan/delik, tiada pidana, kecuali jika sudah ada undang-undang sebelumnya yang mengancam dengan pidana.[2]
Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat di dalam Pasal 1 KUHP yang di rumuskan demikian:
1.    Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2.    Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.[3]

Berdasarkan  rumusan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut secara tegas ditunjuk perbuatan yang dapatberakibat pidana; tentu saja bukan perbuatan yang dipidana, tetapi orang yang melakukan perbuatan itu, yaitu:
1.      Perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapa dijatuhi pidana.
2.      Perundang-undangan pidana itu harus sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.

Dengan perkataan lain tidak boleh terjadi suatu perbuatan yang semula belum di terapkan pelakunya bahwa pelakunya dapat di pidana, karena dirasakan oleh penguasa sangat merugikan, lalu dibuatkan peraturan dan pelakunya dapat dijerat dengan peraturan tersebut, walaupun perbuatannya telah lewat, atau boleh dikatakan bahwa perundang-undangan pidanatidak boleh berlaku surut.[4]
Dalam asas legalitas terdapat dua macam prinsip/asas untuk patut tidaknya seseorang dipidana hal ini terkait dengan adanya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, prinsip/asas tersebut adalah :
1.        Asas legalitas formal, yang sudah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Asas ini menggariskan, bahwa dasar untuk menentukan patut tidaknya suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau perbuatan pidana, sehingga karenanya pelakunya dapat dipidana adalah ketentuan dalam Undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
2.        Asas legalitas material, prinsip ini tidak dirumuskan secara formal dalam KUHP, tetapi prinsip ini dipegang teguh oleh masyarakat. Asas legalitas ini menggariskan bahwa untuk menentukan melawan hukum atau perbuatan pidana adalah nilai-nilai dalam bermasyarakat.[5]

Asas legalitas memiliki tujuan dalam penciptaannya yakni:
1.        Menegakan kepastian hukum
2.        Mencegah kesewenang-wenangan pengausa.

Terdapat beberapa pengertian didalam asas legalitas, yaitu:
1.        Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
2.        Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
3.        Tidak dapat di pidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4.        Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
5.        Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana.
6.        Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7.        Penentuan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.[6]

Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian:
1)        Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2)        Untuk menetukan adanya perbuatan pidana tidak boleh di gunakan analogi (kiyas).
3)        Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[7]

Lebih lanjut Cleirn & Nijboer, mengatakan hukum pidana itu adalah hukum tertulis. Tidak ada seorang pun dapat di pidana berdasarkan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan tidak menciptakan hal dapat dipidana (strafbaarheid). Asas legalitas katanya berarti:
1)   Tidak ada ketentuan yang samar-samar (maksudnya bersifat karet)
2)   Tidak ada hukum kebiasaan (lex Scripta)
3)   Tidak ada analogi (penafsiran ekstentif, dia hanya menerima penafsiran teologis).[8]

Contoh  penggunaan asas legalitas :
pada sekitar tahun 2003 di Yogyakarta terjadi kasus “cyber crime” yang berupa “carding”, tetapi pada saat itu Undang-Undang tentang “cyber crime” belum disahkan oleh karena itu para pelaku tidak bisa diadili atau dikenai hukuman. Kemudian pada bulan maret tahun 2008, Menteri Komunikasi dan Informasi M Nuh sebagai wakil pemerintah dalam sidang Paripurna mengapresiasi sikap DPR yang menyetujui RUU ITE untuk kemudian resmi menjadi undang-undang.
Dalam UU ITE tersebut banyak diatur mengenai masalah transaksi elektronik baik yang dilakukan dalam transaksi perbankan ataupun komunikasi. Selain itu, dalam UU tersebut juga mengatur mengenai pelarangan situs-situs porno. Termasuk menyebarkan informasi yang tidak menyenangkan. Dengan adanya UU ITE ini akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan Negara.
Disamping itu dalam pasal 1 ayat 1 KUHP juga mengandung asas lex temporis delictie yaitu tiap tindak pidana yang dilakukan seseorang harus diadili menurut ketentuan pidana yang berlaku saat itu. [9]
Dari sekian ilmuan hukum yang membahas tentang asas legalitas, mereka menyebutkan di setiap poin pemikirannya yaitu salah satunya “tidak boleh di gunakan analogi”. Mengapa demikian? Sebenarnya apa kaitan antara asas legalitas dengan larangan analogi? Mari kita bahas pada subbab selanjutnya yang ada pada makalah ini.


B.  Larangan Analogi
Analogi merupakan suatu cara penafsiran yang bernada memperluas arti dari suatu peraturan hukum (extensieve interpretative). Dalam asas legalitas suatu analogi itu dianggap sesuatu yang di luar dari peraturan asas legalitas. Suatu analogi dilarang dalam asas legalitas seperti dalam poin-poin yang sudah kita bahas sebelumnya. Hal ini dilarang karena memiliki alasan bahwa analogi merupakan suatu penafsiran yang dapat merubah suatu keadaan, karena hasil dari logika.  Misal suatu keadaan yang semula dari A kemudian menjadi keadaan yang B.
Penerapan suatu aturan hukum dengan cara menggunakan logika ini sama saja yaitu mengambil dari inti suatu peraturan untuk di terapkan terhadap perbuatan yang sebenarnya belum ada aturannya. Padahal pada Pasal 1 ayat (1) KUHP menjelaskan bahwa harus adanya aturan yang mendasari suatu tindak pidana.[10]
Contoh hal yang pernah terjadi dalam praktik penegakkan hukum Indonesia adalah putusan hakim bismar siregar yang menyamakan persetubuhan bujang dengan gadis sebagai “pencurian”. Bismar siregar menganggap kegadisan sama dengan barang, sebagaimana dalam KUHP  pasal 378 yaitu: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun".[11]
Putusan ini banyak dikecam oleh hakim dan pengamat hukum ketikaitu. Inilah mengapa analogi dilarang karena yang ditakutkan adalah analogi dapat menegenyampingkan pemaknaan asas legalitas tersebut. Itulah alasan adanya larangan analogi adalam asas legalitas.


C.  Asas Non Retroaktif
Asas non retroaktif ini merupakan asas turunan dari asas legalitas.Tujuan dari asas ini ialah jangan sampai seseorang melakukan suatu perbuatan pidana lalu  karena orang tersebut tidak disukai maka undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu tak dapat dipidana. Oleh karena itu secara tegas larangan berlaku surut juga dimuat dalam deklarasi universal hak asasi manusia, namun dalam perkembangannya asas berlaku surut dapat dilanggar dalam hukum pidana khusus seperti undang-undang terorisme dan undang-undang peradilan HAM, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sepanjang HAM yang dilindungi jauh lebih besar.[12]
Dengan keharusan untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindak pidana di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara itu menerapkannya terhadap si pelaku perbuatan tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangannya yang mengaturnya harus ada dan berlaku lebih dulu, barulah kemudian ditetapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang terjadi setelah berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam arti negatif, peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sama yang terjadi sebelum berlakunya peraturan perundang-undangan itu. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan surut. Inilah yang dikenal dengan asas non retroaktif.[13]


D.  Perubahan Perundang-undangan
Di dalam sejarah ketatatangeraan kita, ketentuan semacam asas legalitas pernah masuk dalam konstitusi kita, yaitu pada pasal 14 ayat 2 UUDS 1950 yang merumuskan: “tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang ada dan berlaku terhadapnya.” Secara yuridis formal kedudukan ketentuan yang demikian itu, yaitu layaknya asas legalitas, lebih kuat daripada UUDS 1950. Karena jika hendak  mengubah harus menguabah konstitusi. Sedangkan secara teoretis pasal 1 ayat 1 KUHP yang sering disebut sebagai pencerminan asas legalitas itu dapat
disimpangi atau diubah cukup degan memuat undang-undang baru yang berbeda.[14]
Mengenai adanya perubahan Undang-Undang yang berkaitan dengan asas legalitas adalah bahwa asas legalitas itu sendiri  menampakan bahwa segala perbuatan yang diancam dengan pidana, yang diberlakukan adalah hukum atau undang-undang yang sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai undang-undang yang akan dibuat sesudah perbuatan itu terjadi. Sama saja disini berlaku asas lex temporis delicti. Ini termasuk dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Tetapi kita tahu bahwa undang-undang itu tidak langgeng, pasti akan mengalami amandemen-amandemen sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman yang mengiringinya. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika sebelum seorang yang melakukan perbuatan terlarang itu diadili, undang-undangnya diubah atau dicabut?Undang-undang mana yang harus di terapkan?
Untuk ini pasal 1 ayat 2 KUHP menjawab dengan rumusan tersebut diatas yaitu jika ada perubahan undang-undang, maka yang dipakai adalah yang ringan bagi terdakwa. Jadi sama saja pasal 1 ayat 2 KUHP merupakan penyimpangan dari asas lex tempories delicti.
Disini perubahan undang-undang dipakai sebagai perumpamaan saja apabila terjadi perubahan undang-undangnya maka apa yang harus dilakukan? Yaitu dengan cara mengambil hukuman yang paling ringan bagi para pelaku terpidana.[15]




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas tentang asas legalitas serta larangan analogi, asas non retroaktif dan perubahan perundang-undangan. Maka kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa suatu asas legalitas adalah suatu alat untuk menegakan ketegasan dari suatu hukum agar terhindar dari kesewenag-wenangan para penguasa. Sehingga tidak ada lagi tindakan pidana terhadap orang yang melakukan kesalahan namun belum ada undang-undang yang mengaturnya. Tetapi asas ini tidak akan berjalan dengan semestinya apabila di dalam dunia hukum masih menggunakan analogi. Dimana yang kita tahu bahwa analogi itu adalah hukum yang berasal dari kiyasan logika terhadap suatu pasal tertentu untuk menjatuhkan seorang terdakwa ke dalam ranah sanksi hukuman.
Masalah lain, asas legaliatas ini memiliki lawan pengertian tentang pemaknaan dimana asas legalitas yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP di hadapkan dengan pasal 1 ayat 2 KUHP. Sehingga munculah sebuatan untuk kasus ini sebagai hasil turunan dari asas legalitas yaitu asas non-retroaktif (lawan dari asas retroaktif). Dimana asas ini menanggapi tentang perubahan undang-undang, yang menganggap bahwa undang–undang tidak boleh berlaku surut. Yang artinya seandainya seseorang melakukan suatu tindak pidana yang baru kemudian hari terhadap tindakan yang serupa diancam dengan pidana, pelaku tidak dapat dipidana atas ketentuan yang baru itu. Hal ini untuk menjamin warga negara dari tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

1.    Saran
Dari pembahasan makalah kami, kami memiliki saran untuk para lembaga legislatif dan yudikatif agar lebih tegas lagi dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan undang-undang agar tidak ada lagi kesewenang-wenangan terhadap warga negara. Supaya tercipatanya keadilan di dalam suatu negara.

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2013. Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta: rajawali Pers.

Prasetyo, Teguh. 2014. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.










[1] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: rajawali Pers, 2013), hlm. 169-170.
[2]Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 37-41,
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[6]Ibid, hlm. 42.
[7]Morljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, 1987. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm, 40.
[8]Cleirn & Nijboer, Red. Strafrecht, Tekst & Commentaar, 1997. Dalam buku Andi Hamzah, ibid. Hlm, 41.
[13]I Wayan Parthiana, hukum Pidana Internasional, Bandung, 2006. dalam artikel, http://asianinfinity.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-asas-legalitas-dan-asas-non.html. diakses pada tanggal 11 maret 2017.
[14]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 38.
[15]Teguh prasetyo, Op. Cit, hlm. 40.

2 komentar:

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...