Selasa, 21 Februari 2017

Makalah Metode Studi Islam tentang METODE PENELITIAN HADIS

METODE PENELITIAN HADIS



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Sebagai sumber ajaran  Islam yang kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.

Di era globalisasi seperti ini hadis telah berkembang akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui hadis-hadis. Seperti alat canggih modern atau yang disebut android yang memiliki aplikasi yang dapat merubah wajah kita menjadi wajah seperti anjing di sini pndangan islam berbeda seperti Q.S. Al_a’raf : 176, yang artinya “ dan sekiranya kami menghendaki niscaya kami tinggikan (derajat) nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yangrendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dia akan menjulurkan lidahnya dan jika kau membiarkannya dia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami ”. dengan adanya contoh hadis diatas banyak sekali alat-alat modern yang tidak sesuai dengan syariat islam maka dari itu kita sama-sama belajar betapa pentingnya hadis pada masa era globalisai ini. Yang mana sesuai dengan syariat islam kita ikuti dan yang tidak sesuai dengan syariat islam kita jauhi.

Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW. 

B.  Rumusan masalah
Di sini kami menetukan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah itu hadis ?
2.      Apa saja model-model penelitian hadis ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadis
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik), dan pendekatan Istilah (terminologis).
1.    Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari katahadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim  yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan haditsal-bina dengan arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
2.    Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada contohhadits al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
3.    Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.

Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-haditsdalam arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.

“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).

Selanjutnya hadits dilihat dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.[1]

B.     Model-Model Penelitian Hadits
1.    Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.

2.    Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan penyebarannya.

3.    Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Penelitian hadits yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji, dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikanstatus hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut.

Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya.

4.    Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab syafi’I, belajar di Mesir. Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits. Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun ilmu. Buku inilah untuk pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih, hasan, dandhaif. Dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dannmunkar.

5.    Model Penelitian Lainnya
Model penelitian  diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian  yang masih ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya, pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan lain-lain. Akibatnya dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat pasif.[2]

C.     Menentukan Status Hadis
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah  kepada  yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan  yang tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).

1.    Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi)hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuannya.

2.    Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga pararawi itu, diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil,dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.

Postulat yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad, antara lain sebagai berikut:
a.    Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.

b.    Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.

c.    Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya, baik pribadinya maupun ilmiahnya.

d.    Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad, seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda.

3.    Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.

4.    Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in,atau sampai ke atba’ tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya).

a.    Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.  

b.    Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkatsahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.[3]

1.    Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.

2.    Hadits Mawquf
a.    Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf jika dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan itu”.

b.    Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli dari ulama lainnya.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab” (arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Di sini kami menyimpulkan bahwa hadis adalah perkataan,perbuatan dan diamnya rosul
Model-model penelitian hadis memiliki beberapa macam yaitu: . Model H.M. Quraish Shihab, Model Musthafa Al-Siba’iy, Model Muhammad Al-Ghazali, Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy, Model Penelitian Lainnya.

B.  Analisis
Kami dari kelompok 10 sependapat dengan Quraish Shibab yang dalam model penelitian hadis bahwa Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir



DAFTAR PUSTAKA

Kamaruddin Amin. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Mizan Publika, 2009.

Majid khon,abdul.Ulumul Hadis. Jakarta: Imprint Bumi Aksara.2012.

Ohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.







[1]Abdul majid khon,ulumul hadis,(jakarta:imprint bumi aksara,2012),edisi.2.
[2] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009) hal.6.
[3] Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I,  27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...