SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk
mempelajari Hukum Tatanegara suatu Negara, kiranya akan lebih mudah memperoleh
kejelasannya apabila terlebih dahulu dipelajari sejarah ketatanegaraan daripada
Negaranya yang bersangkutan. Demikian pula dengan Hukum Tatanegara kita,
akan mudah diperoleh kejelasannya apabila kita mempelajari terlebih dahulu
sejarah ketatanegaraannya sebelum mulai dengan mempelajari aturan-aturan
ketatanegaraannya. Apalagi kalau mengingat bahwa dari perjalanan ketatanegaraan
kita, yang masih menyelesaikan revolusinya, ternyata penuh mengalami pasang
surut sesuai dengan dinamikanya revolusi Bangsa Indonesia, sehingga mempelajari
sejarah ketatanegaraannya.
Setiap negara tentunya memiliki sejarah tentang ketatanegaraan dalam negaranya. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
Setiap negara tentunya memiliki sejarah tentang ketatanegaraan dalam negaranya. Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia dapat di bagi menjadi beberapa periode, sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi.
Dari pernyataan diatas
inilah yang melatarbelakangi kelompok kami untuk membahas lebih lanjut tentang
sejarah dari ketatanegaraan Indonesia. Agar kita dapat memahami bagaimana
perkembangan proses ketatanegaraan di Indonesia dari periode-periode yang ada.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui
ketatanegaraan Periode Sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
2. Mengetahui
ketatanegaraanPeriode Setelah proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
3. Mengetahui
ketatanegaraan Ketatanegaraan di Bawah
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia
(Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
4. Mengetahui
ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Orde baru
5. Mengetahui
ketatanegaraan Ketatanegaraan Indonesia Setelah reformasi 1998:Menuju
Konsolidasi sistem Demokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Periode
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
a.
Masa
Penjajahan Belanda
Indonesia
pada masa ini kekuasaan tertingginya ada di tangan Raja Hindia Belanda. Dan dibantu
oleh Gubernur Jendral sebagai pelaksana. Raja Belanda bertanggung jawab kepada
parlemen. Ini menunjukan sitem pemerintahan
yang dipergunakan di negeri Belanda adalah sistem Parlementer Kabinet.
Adapun
peraturan perundang-undangan kerajaan Belanda 1983 adalah:
a. UUD
Kearajaan Belanda 1983
1.
Pasal 1: Indonesia merupakan bagian dari
Kerajaan Belanda;
2.
Pasal 62: Ratu Belanda memegang
pemerintahan tertinggi atas Pemerintahan Indonesia, dan Gubernur Jendral atas
nama Ratu Belanda mejalankan
Pemerintahan Umum;
3.
Pasal 63: Ketatanegaraan Indonesia
ditetapkan dengan Undang-Undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan
pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan
Undang-undang.
b. Indische Staatsregeling (IS)
IS
merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Adapun bentuk-bentuk peraturan
perundang-undangan disebut Algemene
Verordeningen (Pearaturan Umum), yang dikenal dimasa berlakunya IS, adalah:
1.
Wet:
dibentuk
oleh badan pembentuk Undang-Undang Negeri Belanda, yaitu mahkota dan Parlemen;
2.
Algemene
Maatsregelen van Bestuur (AmvB), dibentuk oleh mahkota
sendiri;
3.
Ordonnantie,
dibentuk
oleh Gubernur Jendral bersama-sama
dengan Volksraad;
Pada
masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah
Sentralistik. Asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan
dengan seluas-luasnya.
b.
Masa
Pendudukan Bala Tentara Jepang.
Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat
digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :
a. Sebagai
penguasa pendudukan. Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia
Belanda. Namun kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda,
melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
b. Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa
yang ada dikawasan asia timur raya termasuk Indonesia denga menyebut dirinya sebagai
Saudara tua.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah
Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :
a). Pulau
Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan
di Bukittinggi.
b). Pulau
Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
c). Daerah-daerah
selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di
Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada
masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber
hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945 adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah
peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan.[2]
2.
Periode
setelah proklamasi 17 Agustus 1945
a.
Pasca
pemberlakuan UUD 1945 sejak 18 Agustus 1945
Sehari setelah proklamasi 17
Agustus 1945, UUD 1945 disahkan pertama kali oleh PPKI, pada saat itu
dimulailah babak baru penyelenggaraan ketatanegaraan. Dengan adanya usaha-usaha
sebagai berikut:
1. Menetapkan
UUD Negara Republik Indonesia
2. Penetapan
Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI
3. Pembentukan
Dapartemen-dapatemen oleh Presiden
4. Pengangkatan
anggota KNIP
5. Pembentukan
delapan provinsi oleh PPKI.
Proklamasi
terus mengalami kemajuan, pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil Presiden
menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 yang berisi:
1. KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat) diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
membuat atau menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara sebelum
terbentuknya MPR dan DPR
2. Pekerjaan
sehari-hari KNIP dilakukan oleh Badan Pekerja KNIP.[5]
3. KNIP
bersama-sama Presiden menetapkan Undang-Undang yang boleh mengenai segala
urusan pemerintah.[6]
.
b. Ketatanegaraan di Bawah Konstitusi
Indonesia Serikat
Terbentuknya
negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan Indonesia di
Den Haag dari tanggal 23 Agustus - 2 November 1949, Dalam konfrensi tersebut
disepakati tiga hal yaitu:
1. Mendirikan
Negara RIS
2. Penyerahan
kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal yaitu: (a) piagam penyerahan
kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada pemerintahan RIS, (b) status uni, (c)
persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan
uni antara RIS dan kerajaan Belanda[7]
Negara Serikat yang berbentuk federal
merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra
Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, Negara Jawa Timur, Negara
Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang
terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang
tujuan utamanya mempertahan Negara Republik Indonesia yang
diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
c.
Ketatanegaraan
di Bawah Undang Undang Dasar Sementara 1950
UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1950, tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat,
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama
Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi
ini dinamakan "sementara", karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi
baru. Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante
untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante
mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun
1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan
masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam
menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan
sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali
ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara.
Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun
yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang,
karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali dilakukan
pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga
gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses
yang ternyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul
17. 00, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara
resmi di Istana Merdeka. [8]
3.
Ketatanegaraan
dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Dekrit presiden 5 Juli
1959).
Dengan
pemberlakuan kembali UUD 1945, serta mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara sebagaimana
digariskan oleh UUD 1945 belum lengkap, maka dilakukanlah beberapa langkah
sebagai berikut:
1. Pembaharuan
susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui penetapan presiden No.3 Tahun 1960.
2. Penyusunan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan penetapan presiden No.5
Tahun 1960 yang antara lain menentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat diberhentikan dengan hormat dari jabatanny terhitung mulai tanggal
pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh Presiden.
3. Untuk
melaksanakan dekrit presiden oleh presiden dikeluarkan penetapan presiden No.2
Tahun 1959 : tentang majelis permusyawaratan rakyat sementara dan dilanjutkan
dengan
4. Penyusunan
majelis permusyawaratan rakyat sementara dengan penetapan presiden No.12 Tahun
1960.
5. Dikeluarkan
penetapan presiden No.3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangang sementata.
Dengan
demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi,seperti :
1. lembaga-lembaga
Negara seperti MPR, DPR dan DPA belum dibentuk berdasarkan Undang-undang serta
lembaga-lembaha yang ada masih bersifat sementata.
2. Pengangkatan
Presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963.
Sejarah ketatanegaraan
indonesia mencatat bahwa penyimpangan konstitusi ini mencapai puncaknya
dibidang politik dengan terjadinya pemberontakan G30 S PKI. Peristiwa G 30 S
PKI telah menimbulkan kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan
serta meninggalkan sejarah hitam dalam peta politik dan hukum ketatanegaraan
indonesia. Puncak pada peristiwa ini adalah jatuhnya Legitimasi Presiden
Soekarno dalam memegang tampak kepemimpinan nasional. legitimasi tersebut
semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat pemerintah 11 Maret 1966
(SUPERSEMAR) yang pada hakikatnya merupakan perintah Presiden Soekarno kepada
Letnan Jenderal Soeharto untuk mengembalikan segala tindakan dalam menjamin keamanan
dan ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintah. Keberadaan SUPERSEMAR itu
sendiri sampai sekarang masih tetap misterius, bahkan penerbitan SUPERSEMAR itu
sendiri kemunculannya dari kontroversi sejarah yang berbeda-beda
4.
Ketatanegaraan
Indonesia Pada Masa Orde Baru.
Di era ini konsentrasi penyelenggaraan pemerintahan
negara menitik beratkan pada aspek stabilitas politik. Dalam rangka menunjang
pembangunan nasional. Maka dilakukanlah upaya-upaya pembenahan system
ketatanegaraan dan format politik dengan menonjolkan pada hal-hal sebagai
berikut:
a. Konsep Dwi
Fungsi ABRI
b. Pengutamaan
Golongan Karya
c. Magnifikasi
kekuasaan di tangan ekskutif.
d. Diteruskannya
system pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
e. Kebijakan
depolitisasi khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masa mengambang
(floating mass);dan
f. Kontrol
Abriter atas kehidupan pers.
Disamping itu juga disarankan oleh Presiden Soeharto
agar partai-partai mempergunakan asas Pancasila dan UUD 19945 . Berdasarkan gagasan inilah,maka disarankan
pembentukan dua kelompok, yaitu :
a. Kelompok materiil-sprituil yang terdiri atas
partai—partai yang menekankan pembangunan matteriil tanpa mengabaikan aspek
sprituil . Kelompokk ini terdiri dari PNI,Murba,IPKI,partai katolik , Parkindo.
b. kelompok sprituil materiil yang terdiri dari partai-partai yang menekankan pembangunan.
Disamping kedua kelompok partai tersebut ternayata
terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak dapat dimasukkan ke dalam
salah satu kelompok partai tersebut. Golongan –golongan fungsional ini akhirnya
membentuk kelompok sendiri yang disebut GOLKAR (GOLONGAN KARYA ). Kondisi
semacam ini mengakibatkan adanya tiga fenomena ketatanegaraan di
Indonesia,yaitu:
1. Sistem
Ketatanegaraan yang dijalankan pada waktu itu lebih menekankan pada stabilitas
politik dan memang berhasil.
2. Terjadinya
pemasungan hak-hak politik bagi warganegara,khususnya dalam hal berserikat atau
berkumpul karena adanya pembatasan partai politik dan pengawasan terhadap
seluruh organisasi kemasyarakatan seluruh organisasi kemasyrakatan ,termasuk
pengawasan terhadap Media massa.
3. Terpilihnya
Suharto sebagai presiden yang berulang kali mengakibatkan karakter kepemimpinan
makin lama semakin otoriter dan tidak terkontrol, akibatnya gejala Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme semakin merajalela.
5.
Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Reformasi 1998: Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi.
Dengan
tumbangnya rezim Orde Baru, maka dimulailah penataan sistem ketatanegaraan
menuju konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi yang paling
penting disini tidak lain adalah dengan melakukan perubahan dan penggantian
berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang gerak
bagi kehidupan demokrasi dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud antara lain:
Ketetetapan
MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Reperendum;
Undang-Undang
No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum;
Undang-Undang
No. 5 tahun 1974 Tentang Pemerintahan Di daerah;
Paket
Undang-Undang Bidang Politik (UU Susduk MPR, DPR, DPRD,UU Pemilihan Umum, dan
UU Politik dan Golongan Karya).
Di
samping melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut
diatas maka sesuai amanat reformasi, dilakukanlah langkah-langkah untuk
mengamanden UUD 1945. Amandemen UUD 1945 merupakan prasyarat utama bagi
terselenggaranya sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hal ini mengingat
sistematika yang tertuang didalam UUD 1945 tidak memberikan ruang yang cukup
untuk mengembangkan konsep demokrasi pemerintahan dan prinsip Negara yang
berkedaulatan rakyat.
Dengan
rangka melaksanakan amandemen UUD 1945, MPR menggunakan dasar hukum pasal 37
UUD 1945. Berkaitan dengan hal inilah, maka dalam kurun waktu 1999 sampai
dengan tahun 2002, dalam setiap tahunnya MPR melakukan pengesahan terhadap
hasil-hasil amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh panitia Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR. Pengesahan tersebut dilakukan sebanyak 4 kali, yakni setiap MPR
melakukan sidang tahunan pada bulan Agustus tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Setelah
amandemen IV UUD 1945 dikukuhkan pada sidang tahunan MPR Tahun 2000 maka sistem
ketatanegaraan Indonesia secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bentuk
(bangunan) Negara kesatuan tetap dipertahankan dan sudah merupakan keputusan
yang final;
Sistem
pemerintahan Negara republik Indonesia adalah sistem presidensiil murni, dimana
presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang calonnya diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% kursi di
DPR-RI atau 25% memperoleh suara sah dalam pemilu legislatif
Sistem
keparlemenan mempergunakan soft bicameral system, bahkan bisa dianggap sistem
keparlemenan dengan 3 kamar, karena MPR, DPR dan DPD masing-masing memiliki
wewenang sendiri-sendiri serta masing-masing mempunyai ketua;
Seluruh
anggota parlemen (DPR dan DPD) dipilih melalui pemilihan umum. Tidak dikenal
lagi adanya cara penunjukan atau pengangkatan;
Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi
mernjadi lembaga tertinggi Negara melainkan hanya merupakan sarana bergabungnya
DPR dan DPD. Wewenang dari lembaga ini hanya mengubah UUD, mengangkat atau
melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum, memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden jika menurut keputusan mahkamah konstitusi
dianggap telah melakukan pelanggaran hukum berat;
Sistematika
UUD 1945 hanya terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal;
hubungan
alat perlengkapan Negara dalam garis vertikal mempergunakan asas desentralisasi
dan tugas pembantuan dengan otonomi luas;
Dijumpai
adanya mahkamah konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan judicial
review undang-undang terhadap UUD 1945 penyelesaian sengketa pemilihan umum,
memeriksa presiden dan/atau wakil presiden atas pemerintahan DPR, jika mereka
dianggap telah melakukan pelanggaran dihukum berat, dan menyelesaikan sengketa
kewenangan antar lembaga Negara.
Dari
gambaran sejarah ketatanegaraan Indonesia dapat ditarik garis pemahaman bahwa
sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, konsolidasi sistem demokrasi
terus dilakukan dengan berbagai pasang surut yang terkandung didalamnya. Hal
ini membuktikan bahwa konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia masih terus
mencari bentuk yang paling ideal dan sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Proses
konsolidasi sIstem demokrasi yang terus berlanjut ini memang memberikan kesan
kuat bahwa langkah-langkah eksperimentasi sistem ketatanegaraan Indonesia terus
dilakukan. Hal ini wajar, karena membangun sistem, demokrasi tidak akan pernah
selesai. Mengingat demokrasi itu sendiri bukanlah suatu tujuan melainkan
merupakan hanya sarana untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan bangsa
Indonesia sebaimana terangkum dalam pembukaan UUD 1945.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah ketatanegaraan
Indonesia sudah terjadi sejak masa pra Proklamasi kemerdekaan yang dimana ada
beberapa perubahan sistem ketatanegaraan. Pada masa penjajahan sistem
ketatanegaran Indonesia masih diperlakukan oleh kekuasaan para penjajah. Pada
masa pasca Proklamasi Indonesia sudah mulai membenah dalam sistem
ketatanegaraan yang buktinya telah terjadi beberapa sitem ketatanegaraan yang
telah ditetapkan seperti pemberlakuan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945,
Konstitusi Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Negara Sementara Tahun 1950,
Sistem ketatanegaraan Orde Baru, dan yang terbaru setelah Reformasi menuju
Konsolidasi sistem Demokrasi.
B.
Saran
Dalam sistem ketatanegaran
seharusnya pemerintahan Indonesia lebih memiliki sifat transparan, dimana
setiap permasalahan yang ada selalu bisa diikuti perkembangannya oleh masyarakat. Dan masyarakat lebih tau tentang kinerja
birokrasi ketatanegaraan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo, Hestu Cipto. 2015, Hukum Tata Negara Indonesia,
Cahaya atma Pustaka: Yogyakarta.
Huda Ni’kmatul, Hukum
Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014)cet.IX
Radjab Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta : PT. Rineka Cipta,
2005)cet.II
http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html,
diakses pada tanggal 1 maret 2017.
[1]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[2]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[3]Soehino, 1984, Hukum Tata Negara Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Dalam buku B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum
Tata Negara Indonesia,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2015) Hlm, 70.
[4]http://enitawahyuni.blogspot.co.id/2015/03/sejarah-ketatanegaraan-indonesia-lengkap.html
[5] Hestu
Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara
Indonesia (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2015)cet.II hlm 77
[6] Dasril
Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia
(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005)cet.II hlm.188
[7]
Ni’kmatul Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2014)cet.IX hlm. 133
[8]
www.zonanesia.net/2014/10/periodesasi-sistem-pemerintahan.atml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar