Selasa, 21 Februari 2017

Makalah Metode Studi Islam tentang METODE PENELITIAN HADIS

METODE PENELITIAN HADIS



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Sebagai sumber ajaran  Islam yang kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.

Di era globalisasi seperti ini hadis telah berkembang akan tetapi masih banyak masyarakat yang belum memahami dan mengetahui hadis-hadis. Seperti alat canggih modern atau yang disebut android yang memiliki aplikasi yang dapat merubah wajah kita menjadi wajah seperti anjing di sini pndangan islam berbeda seperti Q.S. Al_a’raf : 176, yang artinya “ dan sekiranya kami menghendaki niscaya kami tinggikan (derajat) nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yangrendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dia akan menjulurkan lidahnya dan jika kau membiarkannya dia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami ”. dengan adanya contoh hadis diatas banyak sekali alat-alat modern yang tidak sesuai dengan syariat islam maka dari itu kita sama-sama belajar betapa pentingnya hadis pada masa era globalisai ini. Yang mana sesuai dengan syariat islam kita ikuti dan yang tidak sesuai dengan syariat islam kita jauhi.

Mengingat pentingnya kedudukan hadits dalam syariat islam dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan berdasarkan naluri yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW. 

B.  Rumusan masalah
Di sini kami menetukan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah itu hadis ?
2.      Apa saja model-model penelitian hadis ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadis
Pada garis besarnya pengertian hadits dapat dilihat melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik), dan pendekatan Istilah (terminologis).
1.    Dilihat dari pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari katahadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang bermacam-macam. Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim  yang artinya sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan haditsal-bina dengan arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
2.    Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini kita dapat melihat pada contohhadits al-’ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
3.    Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.

Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-haditsdalam arti al-khabar. Misalnya ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.

“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”. (QS Al-Thur, 52:34).

Selanjutnya hadits dilihat dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama ahli hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW, akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in. Dari pada itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum. Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah, yaitu sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.[1]

B.     Model-Model Penelitian Hadits
1.    Model H.M. Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir.

2.    Model Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan penyebarannya.

3.    Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khususnya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif. Penelitian hadits yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji, dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikanstatus hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut.

Corak penyajiannya masih bersifat deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa, dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya.

4.    Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab syafi’I, belajar di Mesir. Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits. Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta berbagai pendapat para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mengemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun ilmu. Buku inilah untuk pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih, hasan, dandhaif. Dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil, marfu’, mauquf, mursal, dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dannmunkar.

5.    Model Penelitian Lainnya
Model penelitian  diarahkan pada fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib pada tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah. Maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian  yang masih ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum banyak digunakan. Misalnya, pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan lain-lain. Akibatnya dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat pasif.[2]

C.     Menentukan Status Hadis
Langkah awal para ulama dalam menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah  kepada  yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan  yang tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).

1.    Prinsip Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi)hadits yang terdiri dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan pengakuannya.

2.    Prinsip Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga pararawi itu, diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad, muttashil,dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.

Postulat yang dibangun ulama yang berkaitan dengan sanad, antara lain sebagai berikut:
a.    Sanad adalah Ajaran Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.

b.    Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.

c.    Sanad adalah Pangkal Kebenaran
Sangat berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih dari yang lainnya, baik pribadinya maupun ilmiahnya.

d.    Sanad adalah Standar Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad, seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya berbeda-beda.

3.    Prinsip Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.

4.    Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda. Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in,atau sampai ke atba’ tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut) dan seringkali mulus lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya).

a.    Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.  

b.    Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan dimana letak terputusnya, pada tingkatsahabat, tabi’in, atau atba’ tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.[3]

1.    Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia, ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.

2.    Hadits Mawquf
a.    Perbuatan Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim, orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf jika dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu, menyuruh ini dan itu”.

b.    Penafsiran Sahabat.
Penafsiran sahabat termasuk kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli dari ulama lainnya.



BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Para ahli bahasa mendefinisikan yang dimaksud dengan “sebab” (arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut lisan al-‘arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”, yang berarti: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”. Para ahli istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”.
Di sini kami menyimpulkan bahwa hadis adalah perkataan,perbuatan dan diamnya rosul
Model-model penelitian hadis memiliki beberapa macam yaitu: . Model H.M. Quraish Shihab, Model Musthafa Al-Siba’iy, Model Muhammad Al-Ghazali, Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy, Model Penelitian Lainnya.

B.  Analisis
Kami dari kelompok 10 sependapat dengan Quraish Shibab yang dalam model penelitian hadis bahwa Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir



DAFTAR PUSTAKA

Kamaruddin Amin. Metode Kritik Hadis. Jakarta: Mizan Publika, 2009.

Majid khon,abdul.Ulumul Hadis. Jakarta: Imprint Bumi Aksara.2012.

Ohari Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.







[1]Abdul majid khon,ulumul hadis,(jakarta:imprint bumi aksara,2012),edisi.2.
[2] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis(Jakarta: Mizan Publika, 2009) hal.6.
[3] Ohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010) Cet I,  27.

Makalah Metode Studi Islam tentang PENDEKATAN FENOMENOLOGI DAN PENDEKATAN HERMENEUTIKA

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DAN PENDEKATAN HERMENEUTIKA



BAB 1
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Al-Quran memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya, melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat. Ayat al-Quran tidaklah memadai bila seseorang hanya mampu membaca dan melantunkan dengan baik, tetapi lebih pada kemampuan memahami dan mengungkap isi serta mengetahui prinsip-prinsip yang dikandungnya. Sebagai bentuk realisasi upaya memahami makna teks agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan telah melahirkan banyak pendekatan dan metodologi, seperti tahlili, maudlu’i, muqaran, dan berkembang sesuai dengan perkembangan metodologi serta pendekatan kontemporer, salah satu diantaranya adalah fenomenologi dan hermeneutika.
Hermeneutik dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia. Dalam memahami tradisi tidak hanya memahami teks-teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus diakui. Dihadapan ilmu pengetahuan modern yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran terhadap konsep pengetahuan.
Dalam kaitan dengan studi agama, makna istilah fenomenologi tidak pernah terbakukan secara tegas. Oleh karena itu, kita mesti memulai dengan kehati-hatian dalam upaya menentukan faktor-faktor yang termuat dalam pendekatan fenomenologis dalam pendekatan agama. Meski demikian, bila dibandingkan dengan disiplin-disiplin dan pendekatan lain yang memberi pemahaman tentang subyek (agama) kepada kita, pendekatan fenomenologi berperan dengan cara yang khas.[1]


B.            Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendekatan fenomenologi dan pendekaan hermeneutika?
2.      Apakah  sajakah, fungsi, karakteristik  tujuan serta obyek kajian pendekatan fenomenologi dan hakikat, fungsi, faktor, pendekatan hermenutika?



BAB 2
PEMBAHASAN

A.           Pendekatan Fenomenologi
1.             Pengertian Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, fenomena (phenomena) merupakan hal-hal yang tampak (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh pancaindra. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari fenomen atau segala sesuatu yang menampakan diri.[2]
Fenomenologi agama adalah ilmu yang mempelajari agama sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati secara obyektif dengan menggunakan analisa deskriftif. Jadi, pendekatan fenomenologi adalah pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Husserl dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan feomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.

2.             Tugas, Tujuan dan Obyek Pendekatan Fenomenologi
Tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yaitu menunjukan bahwa agama perlu dikaji secara serius dan memberi kontribusi terhadap pemahaman kita tentang humanitas dengan cara yang positif.[3]  Seperti berikut ini.
1)        Mencari hakikat ketuhanan
2)        Menjelaskan teori wahyu
3)        Meneliti tingkah laku keagamaan

Tujuan dari fenomenologi:
1)        Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.
2)        Memahami pemikiran, tinga laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, atauapun psikologi untuk memahami islam. Karena pada daarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada dia alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk menantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

Objek kajian dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam.

3.             Karakteristik Pendekatan Fenomenologi
Fenomeologi agama berangkat dari evaluasi atas antesenden (pendekatan yang telah mendahuluinya), dan berusaha menetapkan kerangka kerja metodologisnya sendiri dalam studi agama dalam kaitannya sebagai pendekatan alternatif terhadap subjek agama. Meski demikian, kita mesti berhati-hati terhadap kecenderungan menganggap fenomenologi sama sekali berbeda dari disiplin-disiplin lain. Keadaannya lebih kompleks dan tidak stabil. Sarjana-sarjana awal dengan tekun memanfaatkan pandangan-pandangan pemikir dari disiplin-disiplin yang berbeda hingga sampai pada kesimpulan mereka sendiri.[4]
Karakteristik pendekatan fenomenologi ditemukan dalam batas-batas itu dan setiap sarjana menetapkan karyanya dalam kaitan dengan persoalan itu. Ini memberi pemahaman kepada kita bahwa tidak ada definisi fenomenologi secara baku. Pilihan yang terbaik adalah mengakui bahwa gagasan mengenai studi agama secara fenomenologis sesungguhnya merupakan upaya menjustifikasi studi agama berdasar istilah yang dimilikinya sendiri dari pada berdasar sudut pandang teolog atau ilmuan sosial.


4.             Kelebihan dan kekurangan
Kekurangan dan kelebihan pendekatan fenomenologi :
1.        Kelebihan fenomenologi yaitu suatu penganut agama dapat memahami dan mencari hakikat agama lain.
2.         Namun fenomenologi juga masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme(saya sendiri).
3.        Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. 

B.            Pendekatan Hermeneutika
1.             Pengertian pendekatan hermeneutika
Istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Card Breaten lalu mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan tenteng sesuatu kata atau event yang ada pada masa lalu untuk dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam konteks kekinian. Jadi hermeneutika berusaha menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia.

2.             Fungsi Hermeneutika
1)        Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks
2)        Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
3)         Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Sebagaimana fungsi dari hermeneutika yaitu untuk mempermudah pemahaman teks kitab suci maka begitu pula ketika kita akan memhahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an
Dua langkah mengoperasionalkan metode hermeneutika :
1)        Berpegang teguh pada prinsip umum kandungan Al-Qur’an
2)         mempertimbangkan latar belakang masalah turunnya Al-Qur’an.
Kedua hal ini merupakan batasan dan arahan dalam menggunakan metode hemeneutika dalam memahami ayat Al-Qur’an agar tidak terjadi penyelewengan dan pembiasan makna yang pada akhirnya akan menyesatkan manusia.

3.             Hakikat Hermeneutika
1)        Rasionalisasi atas teks-teks yang dianggap masih remang-remang dan bahkan penuh dengan mitos atau jauh dari kenyataan atau bahkan bertentangan dengan akal sehat.
2)        Pembagian teks pada dua dimensi, makna literal dan spirit teks.
3)        Dekonstruksi otoritas yang terdapat dalam teks, baik otoritas bermakna pengaruhnya dalam  masyarakat, atau nilai keilahian teks tersebut
4)        Hermeneutika menuntut penafsir untuk kembali merujuk pada masa awal teks tersebut tertulis demi mengetahui ruang lingkup yang mengitari pembentukan teks.

4.        Faktor pendekatan hermeneutika
            Ada dua faktor utama yang termasuk dalam problem hermeneutik pada periode nabi dan sahabat.
1)     Pertama, faktor otoritas Nabi. Pada masa Nabi dan sahabat, persoalan penafsiran al-Qur’an sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam posisi ini, Muhammad tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud al-Qur’an, namun ia juga berfungsi sebagai penafsir yang otoritatif dengan al-hadis sebagai bentuk formalnya. Pada masa tersebut terdapat juga beberapa penafsiran yang dilakukan Sahabat, tetapi penafsiran tersebut segera dikembalikan kepada otoritas kenabian untuk memperoleh validitasi dari Nabi. Dalam memahami al-Qur’an, sama sekali tidak muncul perasaan alienasi makna sebagaimana lazimnya sebuah problem hermeneutik.

2)      Kedua, faktor kesadaran umat islam saat itu yang masih kental dengan argumenargumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Salah satunya terkait dengan persoalan keyakinan teologis bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Mereka mempercayai sakralitas al-Qur’an yang secara literal berasal dari Allah dan karena itu membacanya merupakan suatu ibadah. Umat islam tidak memerlukan perangkat metodologis hermeneutik dalam memahami al-Qur’an melainkan menggunakan penafsiran literal.
            Farid Esackmengatakan bahwa meskipun istilah hermeneutika merupakan hal yang baru dalam tradisi keilmuan Islam, tetapi praktek hermeneutika telah lama dilakukan oleh umat Islam. Praktek hermeneutik tersebut dapat dilihat dari maraknya kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam dibawah payung sebuah disiplin ilmu yang dikenal dengan nama ilmu tafsir.
            Esack kemudian memperkuat pandangannya dengan mengajukan bukti-bukti. Pertama, problematika hermeneutik senantiasa dialami dan dikaji oleh umat Islam, meskipun tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kajian-kajian al-Qur’an yang berhubungan dengan asbab al-nuzul dan naskh-mansukh. Kedua, adanya perbedaan pemahaman yang aktual terhadap al-Qur’an dan terhadap atura, teori atau metode penafsiran yang mengaturnya sejak mulai munculnya litertur-literatur tafsir yang disusun dalam kerangka prinsip-prinsip ilmu tafsir.
3)      Ketiga, tafsir-tafsir tradisional yang berkembang dikalangan umat Islam selalu dikelompokkan dalam kategori-kategori tertentu, misalnya tafsir syari’ah, tafsir mu’tazilah dan sebagainya. Kategori-kategori tersebut menunjukkan adanya kelompok-kelompok tertentu, idiologi-idiologi tertentu, periode-periode tertentu dan horizon-horizon sosial tertentu yang melingkupi kegiatan penafsiran al-Qur’an dan hal ini menandakan adanya sebuah pola hermeneutik.
            Sebagaimana dijelaskan leh Hasan Hanafi, hermeneutika tidak hanya menyelami kandungan makna literal sebuah teks, tetapi juga berusaha menggali  makna yang tersembunyi dibalik teks dengan mempertimbangkan horizon yang melingkupi teks, pengarang dan pembaca. dengan mempertimbangkan ketiga horizon tersebut, maka hermeneutika menjadi sebuah kegiatan ”rekonstruksi” dan “reproduksi” makna dengan cara melacak bagaimana suatu teks dituangkan oleh pengarang, makna apa yang ingi disampaikan oleh pengerang, dan kemudian berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca pada situasi kekinian.
           


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1.             Dalam pendekatan studi islam terdapat pendekatan fenomenologi dan pendekatan hermeneutika. Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
2.              Pendekatan fenomenologi memiliki tujuan Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan dan memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam.Sedangkan pendekatan hermeneutika adalah pendekatan yang berusaha menafsirkan teks atau event di masa lalu yang masih abstrak ke dalam ungkapan yang dapat dipahami manusia. Fungsi dari pendekatan hermeneutika antara lain membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks, membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci dan memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum




DAFTAR PUSTAKA

Peter Connolly (ed.).  2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:  LKIS.  Diterjemahkan oleh Imam Khoiri.
Atang Abdul Hakim. Beni Ahmad Saebeni, 2008. Filsafat Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.





[1] Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2002), di terjemahkan oleh Imam Khoiri,   cet. 1, hlm. 105.
[2] Atang Abdul Hakim. Beni Ahmad Saebeni, Filsafat Umum, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 403.
[3] Peter Connolly (ed.) Op. Cit, hlm. 109.
[4] Peter Connolly (ed.), ibid, hlm. 108

Makalah Ulumul Hadis tentang BIOGRAFI ULAMA HADIS

BIOGRAFI ULAMA HADIS BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Untuk mempelajari Mata Kuliah Ulumul Hadis, kiranya akan lebih j...