METODE
PENELITIAN HADIS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Al-qur’an, keberadaan hadits, di samping telah mewarnai
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian
yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Penalitian terhadap hadits baik dari
segi keotentikannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya,
macam-macam tingkatan maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Al-qur’an
dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
Di era globalisasi
seperti ini hadis telah berkembang akan tetapi masih banyak masyarakat yang
belum memahami dan mengetahui hadis-hadis. Seperti alat canggih modern atau
yang disebut android yang memiliki aplikasi yang dapat merubah wajah kita
menjadi wajah seperti anjing di sini pndangan islam berbeda seperti Q.S.
Al_a’raf : 176, yang artinya “ dan
sekiranya kami menghendaki niscaya kami tinggikan (derajat) nya dengan
(ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya
(yangrendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dia
akan menjulurkan lidahnya dan jika kau membiarkannya dia tetap menjulurkan
lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami ”.
dengan adanya contoh hadis diatas banyak sekali alat-alat modern yang tidak
sesuai dengan syariat islam maka dari itu kita sama-sama belajar betapa
pentingnya hadis pada masa era globalisai ini. Yang mana sesuai dengan syariat
islam kita ikuti dan yang tidak sesuai dengan syariat islam kita jauhi.
Mengingat pentingnya kedudukan hadits
dalam syariat islam dan fungsinya terhadap Al-Qur’an, para sahabat memberikan
perhatian terhadap hadits-hadits Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya
sebagaimana sikap mereka terhadap Al-Qur’an. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz
hadits atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya, dengan
berdasarkan naluri yang mereka miliki, berdasarkan petunjuk-petunjuk Rasul yang
mereka dengar, perbuatan dan perilakunya yang mereka saksikan dan berdasarkan
pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi
diucapkannya hadits-hadits itu. Dan hadits-hadits yang sulit dipahami atau
tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada Nabi SAW.
B. Rumusan masalah
Di sini kami menetukan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah itu hadis ?
2.
Apa saja model-model penelitian hadis ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Pada garis besarnya pengertian hadits
dapat dilihat melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik),
dan pendekatan Istilah (terminologis).
1. Dilihat dari
pendekatan kebahasaan, hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu dari katahadatsa,
yahdutsu, hadtsan, haditsan, dengan pengertian yang bermacam-macam.
Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sesuatu
yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya
sesuatu yang sudah kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti
demikian dapat kita jumpai pada ungkapan haditsal-bina dengan
arti jaded al-bina artinya bangunan baru.
2. Selanjutnya,
kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib yang
berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Untuk ini
kita dapat melihat pada contohhadits al-’ahd bi al-Islam yang
berarti orang yang baru masuk Islam.
3. Kata al-hadis kemudian
dapat pula berarti al-khabar yang berarti mayutahaddats
bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau
diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadits
tersebut, nampaknya yang banyak digunakan adalah pengertian yang ketiga, yaitu
sesuatu yang diperbincangkan atau al-haditsdalam arti al-khabar. Misalnya
ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.
“Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang
serupa dengan Al-qur’an itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar”. (QS
Al-Thur, 52:34).
Selanjutnya hadits dilihat dari segi
pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Hal ini antara lain
disebabkan karena perbedaan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing
dalam melihat suatu masalah. Para ulama ahli hadits misalnya berpendapat bahwa
hadits adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad SAW. Sementara ulama
ahli hadits bukan hanya perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW,
akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan
tabi’in. Dari pada itu ulama ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hadits adalah
perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan hukum.
Ulama ahli fiqih mengidentikkan hadits dengan sunnah, yaitu
sebagaisalahsatudarihukum taklifi, suatu perbuatan apabila
dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan disiksa.[1]
B. Model-Model Penelitian Hadits
1. Model H.M.
Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab
terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan
hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi
sunnah dalam tafsir.
2. Model
Musthafa Al-Siba’iy
Musthafa Al-Siba’iy yang dikenal
sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut
gerakan ikhwanul muslimin. Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa
Al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadinya dan tersebarnya
hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha
para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, kitab-kitab
tentang hadits-hadits palsu, para pemalsu, dan penyebarannya.
3. Model
Muhammad Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali adlah salah seorang
ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam,
khususnya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif.
Penelitian hadits yang dilakukan Muhammad Al-Ghazali termasuk penelitian
eksploratif, yaitu membahas, mengkaji, dan mendalami sedalam-dalamnya berbagai
persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikanstatus
hukumnya dengan berpijak pada konteks hadis tersebut.
Corak penyajiannya masih bersifat
deskriptif analitis. Yakni mendeskripsikan hasil penelitian sedemikian rupa,
dilanjutkan menganalisisnya dengan menggunkan pendekatan fiqih, sehingga
terkesan ada misi pembelaan dan pemurnian ajaran Islam dari berbagai paham yang
dianggapnya tidak sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang mutawatir. Ia
menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan
tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya.
4. Model Zain
Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy
Ia disebut sebagai penganut mazhab
syafi’I, belajar di Mesir. Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy dikenal
menguasai ilmu al-nahwu (gramatikal), ilmu qira’at dan hadits.
Mengingat sebelum zaman Al-Iraqy belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak
ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadis nabi serta
berbagai pendapat para ulama. Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian
yang ditujukan untuk mengemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun ilmu.
Buku inilah untuk pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan
pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih,
hasan, dandhaif. Dilihat pula dari keadaan bersambung atau
terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, muttasil,
marfu’, mauquf, mursal, dan al-mungatil. Selanjutnya, dilihat pula
dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dannmunkar.
5. Model
Penelitian Lainnya
Model penelitian diarahkan pada
fokus kajian aspek tertentu saja. Misalnya, Rif’at Fauzi Abd Al-Muthallib pada
tahun 1981, meneliti tentang perkembangan Al-Sunnah pada abad ke-2 Hijriah.
Maka kini ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman.
Penelitian yang masih ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual
tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadits juga belum
banyak digunakan. Misalnya, pendekatan sosiologis, ekonomi, politik dan
lain-lain. Akibatnya dari keadaan demikian, tampak bahwa pemahaman masyarakat
terhadap hadits pada umumnya masih bersifat pasif.[2]
C. Menentukan Status Hadis
Langkah awal para ulama dalam
menetapkan ke-shahihan dan kelemahan suatu hadits , adalah menentukan
prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan elaborasi
terhadap keberadaan . Langkah ini memungkinkan terjadinya perbedaan nuansa
antara ulama yang satu dengan yang lain. Dan dalam beberapa hal, nuansa
perbedaan tersebut juga terimbas dalam menetapkan status suatu hadits. Untuk
menghindari kekeliruan mengatasnamakan nabi, ulama memilah kepada
yang dapat dijadikan hujjah (shahih dan hasan) dan yang
tidak dapat dijadikan hujjah (dla’if).
1. Prinsip
Ijtihad
Prinsip ijtihad sebenarnya bukan
monopoli karena ulama sebelum dan sesudahnya juga telah menggunakan istilah
ijtihad dalam menentukan shahih tidaknya suatu hadits. Dalam melakukan
ijtihad-nya, ulama hadits menggunakan dua pendekatan; pendekatan sanad dan
matan. Sanad merupakan mata rantai (transmisi)hadits yang terdiri
dari orang-orang yang meriwayatkan hadits sampai Nabi. Sedangkan matan hadits
adalah redaksi hadits itu sendiri yang berupa sabda, perbuatan, dan
pengakuannya.
2. Prinsip
Status Sanad
Hadits yang dihimpun ulama baru ditulis
secara intensif sejak diedarkan surat perintah ‘Umar Bin ‘Abd Al-‘Aziz kepada
para gubernur khususnya di Madinah. Tradisi ini berjalan sampai para pencatat
hadits abad ke-5 H. sejak zaman Rasul hingga pararawi itu,
diperlukan transmisi yang meyakinkan bahwa hadits itu musnad,
muttashil,dan marfu’ kepada Nabi. Kedudukan sanad sangat
penting dalam memelihara ke-shahih-an hadits, sehingga muncul
postulat-postulat yang berkaitan dengannya. Postulat tersebut didasari oleh
keyakinan bahwa mengatasnamakan Rasulullah SAW harus ekstra hati-hati.
Postulat yang dibangun ulama yang
berkaitan dengan sanad, antara lain sebagai berikut:
a. Sanad adalah Ajaran
Agama
Rasulullah SAW sendiri sudah
memperingatkannya sejak dini bahwa mengatasnamakannya tanpa dasar merupakan
dosa dan pelakunya akan masuk neraka. Para sahabat pun sangat hati-hati dalam
menisbahkan sesuatu kepada Nabi. Para sahabat pula yang pertama kali menuntut
harus ada saksi (syahid), keterangan (bayan) dan sumpah jika
seseorang berani menisbahkan sesuatu kepada Nabi.
b. Sanad adalah Perantara
Suatu riwayat atau berita antara suatu
generasi dengan generasi lainnya adalah sanad.
c. Sanad adalah Pangkal
Kebenaran
Sangat berbahaya jika mencari ilmu tidak diketahui dengan
jelas sumbernya. Kutiap-kutipan ilmiah baru akan dipercaya jika bersumber dari
orang-orang yang layak, sesuai dengan profesinya dan memiliki kemampuan lebih
dari yang lainnya, baik pribadinya maupun ilmiahnya.
d. Sanad adalah Standar
Ilmiah
Untuk memperoleh sanad yang shahih
ulama hadits menyusun berbagai macam kaidah yang menurut anggapannya dapat
menentukan status suatu hadits. Dalam menentukan kaidah-kaidah ini, ulama
menentukan kaidah-kaidah yang berkaitan bersambung dan tidaknya suatu sanad,
seperti, musnad, marfu’, mursal dan sebagainya. Jumlah
kaidak-kaidah tersebut antara ulama yang satu dengan ulama yang lainnya
berbeda-beda.
3. Prinsip
Status Matan
Ke-shahih-an hadits tidak hanya
berpegang teguh pada riwayat, tetapi juga pada matan (redaksi) hadits
itu karena sebagai manusia bisa tidak lepas dari kesalahan. Untuk mengetahui
shahih tidaknya matan hadits, maka bukan hanya hadits itu dikomparasikan dengan
hadits lainnya, tetapi juga matan hadits tersebut perlu dikomparasikan dengan
Al-Qur’an. Bila tampak matan (redaksi) hadits
ada pertentangan, maka status hadits tersebut bisa dianggap dla’if, sehingga
tidak bias dijadikan hujjah. Hasil komparasi tersebut bisa merupakan
hadits mansukh (dihapus) oleh Al-Qur’an atau dihapus
oleh hadits lainnya. Salah satu contoh hadits yang dihapus oleh Al-Qur’an ialah
riwayat yang diterangkan oleh imam al-bukhari tentang shalat yang dilakukan
Rasulullah menghadap ke Bayt Al-Maqdis.
4. Kaidah Sanad dan Matan Hadits
Hadits yang dihimpun oleh ulama
memiliki keanekaragaman dan keberadaan sanad serta matan yang berbeda-beda.
Dalam keaneka ragaman sanad, seringkali para penghimpun menggunakan sanad yang
dekat (ali) dan seringkali menggunakan sanad yang jauh (nazil). Juga
seringkali terjadi hadits yang sanad, hadits ditemuinya bersambung kepada nabi
dan juga adakalanya hanya sampai tingkat sahabat, tabi’in,atau
sampai ke atba’ tabi’in. matannya, adakalanya lurus (tidak ada
matan lain yang berlawanan dengan matan tersebut) dan seringkali mulus
lafal-lafalnya (tidak ada perubahan lafal-lafalnya).
a. Jauh dan dekatnya sanad
Landasan metodologis yang digunakan
Al-Hakim Rasulullah SAW pernah didatangi seseorang yang menanyakan tentang
iman, kerasulan, shalat, sadaqah, puasa, dan haji, padahal ia sendiri sudah
mendengar dari orang lain yang menyampaikan kepadanya.
b. Bersambung tidaknya sanad
Perkataan, perbuatan, dan pengakuan
yang dinisbatkan kepada Rasulullah, seringkali bersambung langsung kepada nabi
dan seringkali tidak bersambung langsung. Ulama hadits menelaah bersambung dan
terputusnya transmisi ini sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Jika sanad itu
bersambung, ulama juga melakukan penelitian kepada siapa saja orang-orang yang
tercantum pada sanad tersebut. Dan jika sanad itu terputus, harus ditunjukkan
dimana letak terputusnya, pada tingkatsahabat, tabi’in, atau atba’
tabi’in. istilah teknis yang berkaitan dengan terputus tidaknya suatu
sanad hadits adalah musnad, mawquf, mursal, munqathi’, dan mu’dlal.[3]
1. Hadits Musnad
Hadits musnad yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh ahli hadits yang menerimanya dari syaykh atau
guru hadits yang jika dilihat secara sepintas, antara guru-guru hadits di
setiap generasi itu, satu sama lain pernah berguru dan mendengarnya karena
dimungkinkan oleh hidupnya yang semasa. Kemudian proses selanjutnya, riwayat
yang dibawakannya bersambung kepada sahabat yang masyhur, kemudia,
ia menyandarkannya kepada Nabi. Hadits musnad itu “shahih”, dan dapat dijadikan
hujjah. Untuk membuktikan suatu hadits musnad atau tidak musnad sangat
bergantung kepada telaah rawi hadits itu sendiri.
2. Hadits Mawquf
a. Perbuatan
Sahabat Rasul
Menurut al-Hakim,
orang yang tidak mengetahui hadits akan menduga bahwa hadits itu musnad karena
menyebut sahabat rasulullah, padahal hanya perbuatan sahabat belaka ketika
mereka bertamu. Jadi, tidak selamanya perkataan yang menyebut nama rasul
merupakan hadits musnad. Demikian juga termasuk mawquf jika
dikatakan, “ia (sahabat) mengatakan ini dan itu, melainkan ini dan itu,
menyuruh ini dan itu”.
b. Penafsiran
Sahabat.
Penafsiran sahabat
termasuk kategori hadits mawquf. Jadi dalam term al-Hakim ada hadits yang
dilihat dari sisi luarnya dan dilihat juga sisi hakikatnya. Dilihat dari
luarnya hadits itu mawquf, tetapi hakikatnya mursal karena tidak adanya bukti
bahwa tabi’in yang meriwayatkan perkataan itu menerima dari sahabat Nabi. Term
ini tidak dibahas secara rinci oleh ulama lainnya. Dalam aspek ini al-Hakim
lebih rinci dan lebih rinci dan lebih jeli dari ulama lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para ahli bahasa mendefinisikan yang
dimaksud dengan “sebab” (arab: sababa) adalah “al-habl”: tali, yang menurut
lisan al-‘arab dinyatakan bahwa: kata ini dalam bahasa arab berarti “saluran”,
yang berarti: “segala sesuatu yang menghubungkan satu benda ke benda lainnya”.
Para ahli istilah memaksudkannya sebagai : “segala sesuatu yang mengantarkan
pada tujuan”.
Di sini kami
menyimpulkan bahwa hadis adalah perkataan,perbuatan dan diamnya rosul
Model-model
penelitian hadis memiliki beberapa macam yaitu: . Model H.M. Quraish Shihab, Model Musthafa
Al-Siba’iy, Model Muhammad Al-Ghazali, Model Zain Al-Din
‘Abd Al-Rahim Bin Al-Iraqiy, Model Penelitian Lainnya.
B. Analisis
Kami dari kelompok 10 sependapat dengan Quraish Shibab
yang dalam model penelitian hadis bahwa Penelitian yang dilakukan Qurais Shihab
terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan
dengan penelitian terhadap Al-qur’an. Dalam bukunya berjudul Membumikan
Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan
hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan Al-qur’an serta fungsi dan posisi
sunnah dalam tafsir
DAFTAR
PUSTAKA
Kamaruddin Amin. Metode Kritik
Hadis. Jakarta: Mizan Publika, 2009.
Majid khon,abdul.Ulumul
Hadis. Jakarta: Imprint Bumi Aksara.2012.
Ohari Sahrani. Ulumul Hadits.
Bogor:
Ghalia Indonesia. 2010.