PERADILAN TATA USAHA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif. Berkaitan dengan Kekuasaan Yudikatif (kehakiman), dalam Pasal 24 UUD
1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004,
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan-badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai
lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya
Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran
“Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang
menjamin kedudukan warga masyarakat
dalam hukum dan
menjamin terpeliharanya hubungan
yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.
Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah
negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki
sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang
paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu
ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu
bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui
lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya
tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986. Perubahan yang sangat mendasar dari UU No.
5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah Departemen Kehakiman
sebagai pembina.
B. Rumusan Masalah
Pemakalah akan menguraikan mengenai
kewenangan pengadilan Tata Usaha Negara dan Penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara. Secara ringkas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah, sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud
dengan Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Apa tujuan di dirikannya Peradilan Tata
Usaha Negara?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Peradailan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan UU No 5 Tahun 1986 jo, yaitu adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat yg mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara
yang berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten atau kota.[1]
Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksanaa
kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk meriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara.[2]
Pengertian Peradilan Tata Usaha
Negara dalam arti luas dan sempit:
1.
Dalam arti luas
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang
menyangkut Pejabat-pejabat dan Instansi-instansi Administrasi Negara, baik yang
bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan
perkara administrasi Negara.
2.
Dalam arti sempit
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang
menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara murni semata-mata.[3]
B. Tujuan
Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
sejahtera, aman, tentram dan tertib. Berkaitan dengan Peardilan Tata Usaha
Negara, Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa
antara antara Pemerintah dari warga negaranya, yakni sengketa yang timbul
sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar
hak-hak warga negaranya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Peradilan Tata
Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberi perlidungan kepada rakyat.
Tetapi
disamping itu haris pila disadari bahwa disamping hak-hak individu, masyarakat
juga mempunyai hak-hak tertentu. Hak masyarakat ini didasarkan kepada
kepentingan bersama dari para individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Kepentingan tersebut tidak selamanya sejalan, bahkan kadang-kadang saling
berbenturan. Justru untuk menjamin penyelesaian yang adil terhadap pembentukan
kepentingan yang berbeda-beda itu, maka saluran hukum merupakan salah satu
jalan yang terbaik dan sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara kita,
Pancasila, maka hak dan kewajiban asasi warga negara harus diletakan dalam
keserasian, keselarasan dan kesimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat. Oleh karena itu tujuan Peradilan Tata usaha Negara sebenarnya
tidak semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan,
melainkan juga untuk melindungi hak-hak masyarakat.[4]
C. Kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan sesuatu).Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingakatan
pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5] Kompetensi (kewenangan)
suatu badan pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut.[6]
1)
Kompetensi
relatif
Kompetensi
relatif suatu badan pengadilan ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi
kewenangannya. Suatu badan pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa
suatu sengketa apabila salah satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat)
berkediaman di salah satu daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan
itu.
Pengaturan kompetensi relatif
peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54 :
a.
Pasal 6
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 menyatakan :
(1)
Pengadilan
Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
(2)
Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah Provinsi.
Adapun kompetensi yang berkaitan
dengan tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat
dan Tergugat.
b.
Dalam
Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 menyebutkan gugatan dapat
diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) tergugat. Apabila tergugatnya
lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan keapda PTUN dari tempat kedudukan
salah satu tergugat. Gugatan juga dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan
penggugat untuk diteruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domisili) dari
tergugat. PTUN Jakarta, apabila penggugat dan tergugat berdomisili di laur
negri. Sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri, maka gugatan
dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.[7]
2)
Kompetensi
Absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi
atau pokok sengketa. Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata usaha negara
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum
Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).[8]
D. Subyek Dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Subyek dalam
Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:
1. Penggugat
Yaitu pihak-pihak
yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara antara lain orang atau badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN);
2. Tergugat
Yaitu jabatan
yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan
wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini
mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi
jabatan yang melekat kepada orang tersebut.
E.
Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Yang
menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha
Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.[9]
F.
Ciri
dan Prinsip Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas hukum acara Peradilan tata usaha
negara terletak pada asas-asas hukum yang melandasinya. Satjipto Rahardjo
berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas
hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Kita menyebutnya demikian oleh
karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut. [10]Dengan didasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka secara
garis besarnya kita dapat menggali beberapa asas hukum yang terdapat dalam
Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara:
1.
Asas
Praduga rechtmatig. (Pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2.
Asas
gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha
negara (KTUN) yang dipersengketakan. (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).
3. Asas para pihak harus didengar.
4. Asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
5. Asas peradilan dilakukan dengan
sederahana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/ 1970).
6. Asas hakim aktif.
7. Asas sidang terbuka untuk umum.
(Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN).
8. Asas
peradilan berjenjang.
9. Asas pengadilan sebagai upaya
terakhir untuk mendapatkan keadilan. (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
10.Asas Obyektivitas.[11]
G. Pangkal Sengketa
Tata Usaha Negara
Pangkal sengketa tata usaha negara dapat diketahui
dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha negara. Tolak
ukur sengketa tata usaha negara (administrasi) adalah tolak ukur subjek dan
pangkal sengketa. Tolak ukur subjek adalah (para) pihak yang bersengketa di
bidang hukum administrasi negara (tata usaha negara). Sedangkan tolak ukur pangkal
sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai
hasil perbuatan administrasi negara.[12] .
Perbuatan
administrasi negara (TUN) dapat dikelompokan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan,
yakni: mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan
melakukan perbuatan materiil.
Dalam melakukan perbuatan tersebut,
badan atau pejabat tata usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan
yang menyimpang, dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai
kerugian, bagi yang terkena tindakan tersebut.
Pertanyaan sekarang adalah apa yang
dimaksud sengketa dalam tata usaha Negara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
dapat ditelusuri dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU PTUN, yang menyebutkan
sebagai berikut:
“Sengeketa
tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara
antara orang atau badan hukum perdata, dengan badan atau pejabat tata usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya
keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pangkal
sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Beerdasarkan Pasal 1 angka 3 UU
PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah: “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.” [13]
H. Jalur
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang UU PTUN menyebutkan:
1.
Dalam
suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha
Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2.
Pengadila
baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika selutuh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Dengan demikian upaya administatif
itu merupakan prosedur yang digunakan dalam suatu peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaiakan sengketa TUN yang dilakssanakan di lingkungan pemerintah
sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas).yang terdiri dari prosedur keberatan
dan prosedur banding administratif.[14]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sekian
banyak penjelasan yang kami bahas pada subab-subab sebelumnya kami akan
menyimpulkan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah suatu kehendak konstitusi dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap
rakyat secara maksimal. Dengan bersumber dari berdasarkan UU
No 5 Tahun 1986 jo, yaitu adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat yg mencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara yang
berkedudukan di ibukota kabupaten atau kota dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten atau kota. Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk meriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara.
Kemudian tujuan
didirikannya Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah untuk menyelesaikan
sengketa antara Pemerintah dari warga negaranya, yakni sengketa yang timbul
sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang dianggap melanggar
hak-hak warga negaranya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Peradilan Tata
Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberi perlidungan kepada rakyat, entah
itu perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, serta juga untuk melindungi
hak-hak masyarakat banyak.
B. Saran
Saran dari kelompok kami untuk pemerinta adalah,
hendaknya agar kinerja dari Pengadilan Tata Usaha Negara ini lebih ditingkatkan
lagi. Mengingat saat ini, banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
oleh aparat pemerintahan, yang tentunya penyelewengan-penyelewengan itu
merugikan masyarakat luas. Serta dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal
administrasi Negara agar lebih jujur dan bersih lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman Siddik. 2002. Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak
Zaman Kolonial Belanda Sampai Sekarang. Lampung: Seksi Penerbitan Fakultas
Syariah IAIN Raden Intan Lampung.
Sudarsono. 1994.
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bejamin
mangkoedilaga. 1988. Lembaga Peradilan
Tata Usaha Negara. Bandung: Angkasa.
Zairin Harahap. 2008. Hukum
Acara Peradilan tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html.
Diakses pada tanggal 17 maret 2017.
http://amir-sadewata.blogspot.co.id/2011/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html.
Diakses pada tanggal 18.
[1] Badruzzaman Siddik, Perkembangan Peradilan Di Indonesia Sejak
Zaman Kolonial Belanda Sampai Sekarang, (Lampung: Seksi Penerbitan Fakultas
Syariah IAIN Raden Intan Lampung,2002), hlm. 9.
[2] Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Peradilan
Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), cet. Ke 1, hlm. 370.
[3]
http://belajarhukum27.blogspot.co.id/2014/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html.
Diakses pada tanggal 17 maret 2017.
[4] Bejamin mangkoedilaga, Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara,
(Bandung: Angkasa 1988), hlm. 140.
[5] Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan tata Usaha Negara,
(Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2008), hlm. 27.
[7] Ibid.
[8] Zairin Harahap, Op. Cit, hlm. 27-32.
[9]
http://amir-sadewata.blogspot.co.id/2011/12/makalah-peradilan-tata-usaha-negara.html.
Diakses pada tanggal 18.
[10] Zairin Harahap, Op. Cit, hlm. 23.
[11] Zairin Harahap, ibid, hlm. 24-26.
[12] Sjahran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Administrasi (HAPLA), (Jakarta: Rajawali Press, 1989). Dalam buku
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan
tata Usaha Negara, (Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2008), hlm. 61.
[13] Zairin Harahap, ibid, hlm.61-63.
[14] Indoharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, cet ke-6, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996). Dalam buku Zairin
Harahap, ibid, hlm. 84.